Realitas Sosial Ekonomi Anak Muda Zaman Sekarang
Dulu, saat masih kecil, kita diajari tentang konsep “4 Sehat 5 Sempurna.” Sebuah formula makan sehat yang terdiri dari nasi, lauk-pauk, sayur, buah, dan disempurnakan dengan susu. Konsep itu begitu sederhana dan masuk akal: cukup makan dengan gizi seimbang, tubuh akan sehat dan kuat. Namun, ketika beranjak dewasa, kita menyadari bahwa kesehatan bukan sekadar soal makanan. Hidup ternyata jauh lebih kompleks. Maka, lahirlah ungkapan sarkasme khas anak muda zaman sekarang: “Umur segini butuhnya 4 Sehat 5 Milyar.” Bukan hanya sekadar kebutuhan makan yang harus terpenuhi, tapi juga pekerjaan layak, kesehatan fisik dan mental, tempat tinggal yang manusiawi, serta kestabilan finansial yang nyaris mustahil diraih.
Dalam realitas sosial ekonomi hari ini, memiliki pekerjaan tidak otomatis menjamin kesejahteraan. Banyak anak muda yang terjebak dalam pekerjaan dengan gaji yang nyaris tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Upah Minimum Regional (UMR) yang seharusnya menjadi standar penghidupan layak sering kali hanya cukup untuk bertahan, bukan berkembang. Sementara itu, tuntutan pekerjaan semakin tinggi, tetapi penghargaan terhadap tenaga kerja sering kali minim. Generasi muda dipaksa bekerja lebih keras, lebih lama, namun tetap sulit menabung untuk masa depan. Istilah “gaji numpang lewat” bukan lagi sekadar guyonan, melainkan kenyataan yang dihadapi banyak pekerja muda.
Selain pekerjaan, kesehatan juga menjadi tantangan besar. Jika dulu kita diajarkan cukup makan sayur dan minum susu agar tetap sehat, kini kesehatan datang dengan harga yang mahal. Biaya rumah sakit, obat-obatan, serta layanan kesehatan mental semakin tidak terjangkau. Di tengah tekanan kerja dan tuntutan sosial yang semakin besar, banyak anak muda mengalami stres, kecemasan, hingga burnout. Namun, akses ke layanan kesehatan mental masih sulit dan sering kali distigmatisasi. Pergi ke psikolog atau psikiater dianggap sebagai bentuk kelemahan, padahal kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik.
Masalah tempat tinggal menjadi isu lain yang menghantui generasi ini. Harga properti melonjak jauh lebih cepat dibanding kenaikan gaji, membuat kepemilikan rumah terasa seperti mimpi yang semakin jauh. Banyak yang akhirnya memilih untuk terus mengontrak, berbagi kamar kos, atau bahkan kembali tinggal bersama orang tua meski sudah bekerja bertahun-tahun. Gaya hidup “kontrakan seumur hidup” menjadi realitas yang harus diterima karena membeli rumah di kota besar hampir mustahil tanpa dukungan finansial dari keluarga. Di sisi lain, tinggal bersama orang tua setelah usia tertentu sering kali memunculkan tekanan sosial, seolah menandakan kegagalan dalam mencapai kemandirian.
Di luar kebutuhan dasar, kehidupan sosial juga menjadi aspek yang semakin kompleks. Saat remaja, pertemanan terasa sederhana—berbagi cerita di sekolah atau nongkrong di warung kopi sudah cukup untuk merasa terhubung. Namun, seiring bertambahnya usia, hubungan sosial semakin dipengaruhi oleh status ekonomi dan kesibukan masing-masing. Teman-teman mulai fokus pada karier, membangun rumah tangga, dan menjalani kehidupan mereka sendiri. Bagi mereka yang masih berjuang untuk mencapai kestabilan finansial, kesepian menjadi masalah yang nyata. Hubungan romantis pun tak lepas dari tekanan ekonomi. Menjalin hubungan bukan hanya soal cinta, tapi juga soal kesiapan finansial untuk membangun masa depan bersama. Tidak heran jika banyak anak muda menunda pernikahan karena merasa belum mampu secara ekonomi.
Di tengah semua tantangan ini, muncul kebutuhan besar akan kestabilan finansial—itulah yang dimaksud dengan “5 Milyar” dalam ungkapan sarkas tadi. Uang sebesar itu bukan hanya sekadar angka, tetapi simbol dari kebebasan finansial yang diimpikan banyak orang. Dengan uang sebanyak itu, seseorang bisa memiliki rumah sendiri, tidak perlu khawatir soal biaya kesehatan, bisa memilih pekerjaan yang disukai tanpa tekanan ekonomi, serta memiliki waktu untuk menjalani kehidupan sosial yang lebih seimbang. Namun, kenyataannya, mencapai angka tersebut terasa seperti perjalanan panjang yang penuh rintangan. Banyak anak muda yang merasa sekeras apa pun mereka bekerja, kesenjangan ekonomi dan ketidakpastian masa depan tetap membuat mereka sulit untuk benar-benar merasa aman.
Dalam situasi seperti ini, muncul berbagai cara bertahan. Beberapa memilih bekerja lebih dari satu pekerjaan, menjadi freelancer, atau merintis usaha kecil-kecilan di tengah kesibukan pekerjaan utama. Ada juga yang memilih gaya hidup minimalis, mengurangi keinginan konsumtif agar bisa menabung lebih banyak. Sementara yang lain mencoba mencari jalan pintas, seperti investasi tinggi risiko atau bahkan berjudi dalam bentuk trading yang kurang teredukasi dengan baik. Semua itu adalah bentuk perjuangan untuk bisa mencapai setidaknya sebagian dari “4 Sehat 5 Milyar.”
Ungkapan ini mungkin terdengar seperti lelucon, tapi di baliknya ada realitas pahit yang dihadapi generasi muda. Kita hidup di zaman di mana bertahan hidup saja sudah sulit, apalagi bermimpi lebih besar. Namun, meski realitas terasa berat, semangat untuk terus berjuang tetap ada. Mungkin bukan 5 milyar yang akan datang dalam waktu dekat, tapi setidaknya, masih ada harapan untuk memperjuangkan kehidupan yang lebih baik, satu langkah demi satu langkah.