Jujur saja, kalau disuruh menyebutkan tempat yang sepi tapi bikin betah, mungkin jawaban kalian bakal berkisar antara rumah nenek di desa, perpustakaan kota yang sunyi, atau kos-kosan teman yang tiap bulan listriknya mati karena lupa bayar. Tapi ada satu tempat yang selalu punya aura kesepian plus nuansa nostalgia yang bikin kita ingin terus datang: Toko Buku Togamas.
Ya, Togamas. Toko buku legendaris yang bangunannya seringkali lebih kuno daripada skripsi mahasiswa semester tua. Toko buku yang parkirannya sering lebih kosong dari kantong akhir bulan. Toko buku yang kalau masuk ke dalamnya, kita seperti dilempar ke dunia lain—dunia di mana bau kertas, rak kayu tua, dan suasana sendu jadi satu dalam harmoni yang unik.
Sepi, Tapi Penuh Cerita
Kalau bicara soal toko buku, biasanya orang langsung ingat Gramedia, yang suasananya mirip mall mini dengan lampu terang dan AC dingin yang kadang berlebihan. Tapi Togamas? Togamas itu seperti rumah tua yang nyaman. Lampunya cenderung remang-remang, suasananya tenang, dan kadang, kalau kalian beruntung, bisa menemukan seorang penjaga toko yang lebih tua dari umur republik ini.
“Sepi banget, ya, Mbak?” tanyaku suatu hari pada seorang kasir Togamas.
Mbak kasir yang sedang melamun itu kaget, lalu tertawa kecil. “Iya, Mas. Kadang, kalau ada pelanggan masuk, kami sampai terharu.”
Bukan Togamas namanya kalau nggak sepi. Tapi justru di situ letak keindahannya. Kalian bisa menyusuri rak demi rak tanpa harus desak-desakan seperti antre sembako. Bisa buka buku, baca isinya, lalu menimbang-nimbang, tanpa ada mas-mas penjaga yang memandang curiga.
Diskon Selalu Ada, Tapi Dompet Tetap Menangis
Salah satu hal yang bikin Togamas dicintai adalah diskonnya yang abadi. Di saat toko buku lain pelit memberikan potongan harga, Togamas selalu setia dengan diskon 10-20%. Tapi ya, tetap saja, kalau masuk ke Togamas, dompet pasti pulang dalam keadaan kurus.
Awalnya niat cuma mau lihat-lihat, sekadar menyentuh sampul buku, merasakan teksturnya, dan mencium aroma kertasnya (ya, pencinta buku pasti paham). Tapi entah kenapa, tiba-tiba di tangan sudah ada lima buku. Dan entah bagaimana, kaki ini sudah menuju kasir. Dan yang lebih entah lagi, kenapa setelah transaksi selesai, saldo ATM tiba-tiba menyisakan angka yang mencurigakan?
Surga Buku Lama dan Buku Tak Terduga
Di Gramedia atau toko buku mainstream lainnya, biasanya yang dijual adalah buku-buku baru, bestseller, atau buku self-improvement yang judulnya panjang dan menjanjikan hidup lebih sukses. Tapi di Togamas, kalian bisa menemukan buku-buku yang seakan berasal dari dimensi lain.
Pernah suatu hari aku menemukan buku pelajaran Bahasa Indonesia kelas 6 SD tahun 2004. Siapa yang belanja ke Togamas untuk mencari buku itu? Entahlah. Tapi justru ini daya tarik Togamas. Kadang, di antara rak-raknya yang sunyi, kita bisa menemukan buku yang sudah lama hilang dari pasaran. Buku puisi indie yang cuma dicetak seribu eksemplar. Novel terbitan lama yang tak lagi dicetak ulang. Atau buku filsafat yang sudah mulai menguning tapi tetap menggoda untuk dibaca.
Kalau kalian suka menjelajah, Togamas adalah harta karun. Seperti petualangan Indiana Jones, tapi yang kalian temukan bukan artefak emas, melainkan buku puisi tahun 90-an yang sudah lama terlupakan.
Antara Kenyamanan dan Kesepian yang Menenangkan
Togamas itu semacam paradox. Ia toko buku, tapi sering terasa seperti perpustakaan. Ia menawarkan diskon, tapi tetap membuat kita miskin. Ia sepi, tapi justru itu yang bikin kita betah.
Kalau kalian bosan dengan suasana toko buku yang terlalu ramai, pergilah ke Togamas. Duduklah di pojokan, nikmati keheningan, dan biarkan buku-buku di sana bercerita kepada kalian. Mungkin, dalam kesepian itu, kalian justru menemukan sesuatu yang selama ini kalian cari.
Atau, kalau tidak menemukan apa-apa, setidaknya kalian bisa pulang dengan satu buku baru dan dompet yang lebih tipis. Itu juga pengalaman yang berharga, kan?