Dunia ini kejam, kawan. Sering kali, dia datang membawa beban yang tidak pernah kita pesan. Pagi-pagi, kita sudah berhadapan dengan notifikasi WhatsApp dari bos yang isinya lebih menusuk dari mantan yang tiba-tiba nikah. Di depan cermin, wajah kita masih setengah jadi, sementara deadline sudah lengkap dengan tenggat yang semakin mendekat. Rasanya ingin menyerah, tapi kita bukan orang kaya yang bisa healing ke Bali seminggu penuh.
Di tengah keterpurukan, ada satu ritual sakral yang sering dianggap remeh: tiga teguk kopi sachet. Murahan? Iya. Bikin hidup lebih baik? Entahlah. Tapi anehnya, dia bisa mengembalikan mood kita dalam waktu kurang dari semenit.
Teguk Pertama: Pengakuan Diri yang Jujur
Saat kita meneguk kopi sachet untuk pertama kali, biasanya kita akan tersadar dengan brutal: “Ya Allah, aku udah separah ini, ya?” Kita tahu kopi ini bukan yang terbaik. Biji kopinya entah dari mana, susu bubuknya lebih banyak daripada kopinya, dan gulanya sudah pasti lebih sadis dari nasib kita sendiri. Tapi kita tetap menyeruputnya dengan penuh keikhlasan.
Kenapa? Karena kita sadar, ini bukan soal rasa. Ini soal penerimaan. Bahwa hidup tidak selalu menyajikan espresso mahal dengan latte art berbentuk hati. Kadang, kita hanya diberi sachet yang kita sobek dengan gigi karena gak nemu gunting.
Tegukan pertama ini ibarat cermin: dia tidak menutup-nutupi bahwa kita sedang dalam kondisi low budget, kelelahan, dan butuh penyangga moral yang murah serta instan. Tidak ada kepalsuan di sini. Tidak ada basa-basi. Kita murni manusia yang butuh kafein, bukan estetika.
Teguk Kedua: Kenikmatan yang Tidak Perlu Dibuktikan
Di dunia yang penuh pretensi ini, banyak hal harus dibuktikan dengan validasi. Makan di restoran mahal harus difoto. Nongkrong di kafe estetik harus direkam. Baca buku tebal harus dipamerkan di Instagram.
Tapi kopi sachet? Dia tidak butuh pengakuan. Kita tidak perlu meyakinkan siapa pun bahwa ini nikmat. Tegukan kedua datang seperti teman lama yang tidak banyak bertanya. Tidak ada yang peduli apakah kita sedang sukses atau baru gagal. Dia tetap memberikan kehangatan yang sama.
Dan di situ, kita merasa aman. Kopi sachet ini adalah jeda dari dunia yang menuntut kita untuk selalu hebat. Ia mengizinkan kita untuk cukup. Tanpa embel-embel. Tanpa pamer. Tanpa harus membuktikan apa pun ke dunia.
Teguk Ketiga: Pemulihan Harga Diri
Saat kita meneguk kopi sachet untuk ketiga kalinya, sesuatu yang ajaib terjadi. Tiba-tiba, beban hidup terasa lebih ringan. Chat bos tidak seseram tadi. Deadline terasa lebih bisa ditoleransi. Bahkan, kita mulai berpikir, “Ah, nanti juga beres.”
Apa ini efek kafein? Mungkin. Tapi yang lebih masuk akal adalah ini efek kesadaran bahwa kita tidak sendirian. Bahwa di luar sana, jutaan manusia lain juga sedang menyeruput kopi sachet yang sama, menghadapi problem hidup yang sama, dengan ekspresi yang sama: pasrah tapi tetap lanjut.
Dan di situ, harga diri kita pelan-pelan kembali. Kita tahu bahwa kita bukan satu-satunya orang yang sedang berjuang. Kita bukan satu-satunya yang butuh sedikit energi tambahan untuk tetap bergerak. Kita semua sekumpulan manusia yang berpegangan pada satu hal kecil yang absurd: secangkir kopi instan.
Hidup Tidak Selalu Butuh yang Mewah
Jadi, kenapa kopi sachet bisa mengembalikan mood hanya dalam tiga tegukan? Karena dia mengingatkan kita bahwa kebahagiaan itu sederhana. Karena dia memberi kita jeda tanpa menghakimi. Karena dia menyadarkan kita bahwa hidup tidak selalu harus spektakuler untuk tetap layak dijalani.
Terkadang, yang kita butuhkan bukan solusi besar, tapi sesuatu yang cukup. Dan kadang, cukup itu datang dalam bentuk bubuk kopi yang larut dalam air panas, diaduk dengan sendok plastik, lalu diteguk tanpa banyak harapan—tapi tetap memberi kehangatan.
Jadi, mari kita angkat gelas kita. Bukan untuk merayakan kesuksesan, tapi untuk menerima bahwa hari ini tetap harus kita jalani. Dan mungkin, esok kita akan baik-baik saja.