“Tanpa pemimpin yang berani mengambil risiko, revolusi tidak akan pernah terjadi.” – Tan Malaka
Jika kita bicara tentang perlawanan dan perjuangan, nama Tan Malaka selalu mencuat sebagai sosok yang tak hanya sekadar petarung, tapi juga pemikir. Ia bukan pemimpin yang duduk nyaman di kursi empuk, mengatur strategi dari balik meja. Tidak. Tan Malaka adalah revolusioner yang hidup dalam pengasingan, buron sepanjang hayat, namun tetap konsisten menyalakan api perlawanan lewat gagasan.
Di antara para pemimpin pergerakan Indonesia, Tan Malaka adalah anomali. Ia tidak mengejar kekuasaan seperti kebanyakan politisi, tidak juga mencari ketenaran. Baginya, revolusi bukan soal jabatan, tapi soal kesadaran. Dan itu yang menjadikannya unik sekaligus tragis: pemikirannya terlalu maju untuk zamannya, bahkan hingga kini.
Lalu, bagaimana cara Tan Malaka melawan? Apa yang bisa kita pelajari dari pemikirannya? Dan yang paling penting, masih relevankah perjuangannya di era sekarang?
Revolusi Dimulai dari Pikiran
“Terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk.”
Kutipan ini sering diulang-ulang dalam berbagai diskusi pergerakan. Maksudnya jelas: kesadaran tidak muncul begitu saja. Kita harus berani menghadapi rintangan, bertabrakan dengan realitas, lalu bangkit dengan pemahaman yang lebih kuat.
Tan Malaka memahami bahwa revolusi sejati lahir dari rakyat yang sadar, bukan yang hanya ikut arus. Itu sebabnya, ia tidak hanya berjuang dengan senjata, tapi juga dengan buku dan pendidikan.
Ia menulis Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika) sebagai fondasi pemikiran bagi kaum pergerakan. Baginya, rakyat harus berpikir secara logis, tidak sekadar mengikuti dogma atau mitos politik.
Kalau kita tarik ke zaman sekarang, strategi Tan Malaka ini masih sangat relevan. Di era digital, informasi berlimpah, tapi banyak orang justru makin malas berpikir kritis. Banyak yang percaya hoaks tanpa mengecek fakta. Banyak yang terjebak fanatisme buta terhadap tokoh atau kelompok tanpa memahami ide-ide mereka.
Jadi, kalau kita ingin benar-benar berjuang di era modern, langkah pertama adalah membentuk kesadaran kritis. Jangan cuma jadi pengikut. Pelajari, telaah, uji, dan ambil sikap berdasarkan pemahaman yang matang.
Jalan Panjang Seorang Revolusioner
“Jika kita berkompromi, kita hanya akan mendapat sisa-sisa dari orang-orang yang menang.”
Tan Malaka adalah simbol keteguhan ideologi. Ia melihat politik bukan sebagai panggung sandiwara di mana setiap orang bisa berkompromi demi jabatan. Baginya, perjuangan adalah tentang prinsip, bukan posisi.
Itu sebabnya ia sering berbenturan dengan kawan seperjuangan. Bung Karno, Hatta, dan Sjahrir—tokoh-tokoh besar yang dulu pernah bersamanya—pada akhirnya memilih jalur berbeda. Tan Malaka tetap pada jalannya, meskipun harus menjadi buronan di negerinya sendiri.
Sikap anti-kompromi ini adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, itu menjadikannya tokoh yang sulit dikalahkan secara ideologis. Di sisi lain, itu juga membuatnya sulit diterima oleh sistem yang cenderung pragmatis.
Di era sekarang, ketika banyak aktivis dan pemikir kritis justru ‘menyeberang’ ke kekuasaan, sikap Tan Malaka menjadi cermin. Apakah kita tetap berpegang pada idealisme, atau tergoda oleh kenyamanan sistem?
Tentu saja, tidak semua kompromi itu buruk. Tapi jika kompromi membuat kita kehilangan arah perjuangan, mungkin kita perlu bertanya: masihkah kita berjuang untuk rakyat, atau sekadar untuk diri sendiri?
Mengorganisir Kekuatan Rakyat, Dari Aksi ke Gerakan
Tan Malaka bukan sekadar pemikir yang duduk di meja dan menulis teori. Ia juga seorang organisator ulung.
Salah satu konsepnya yang paling menarik adalah Partai Murba—partai yang ia bentuk dengan harapan bisa menjadi alat perjuangan rakyat pekerja. Ia juga berperan dalam berbagai aksi buruh dan petani, karena sadar bahwa kekuatan sejati ada di tangan massa.
Sekarang, banyak gerakan sosial lahir dari media sosial. Isu-isu diperjuangkan lewat kampanye digital. Tapi pertanyaannya: apakah gerakan ini benar-benar mengakar, atau hanya viral sesaat?
Pelajaran dari Tan Malaka adalah bahwa perjuangan tidak bisa berhenti di level opini. Harus ada organisasi, harus ada strategi. Aksi di media sosial memang penting, tapi tanpa gerakan nyata di lapangan, semua hanya akan jadi omong kosong.
Kalau kita ingin benar-benar menerapkan pemikiran Tan Malaka hari ini, maka tugas kita adalah mengorganisir. Jangan hanya bicara di Twitter atau Instagram. Bikin forum diskusi, bentuk komunitas, dan lakukan aksi nyata yang berdampak.
Warisan Tan Malaka, Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Hingga akhir hayatnya, Tan Malaka tetap setia pada jalan perjuangan. Ia dieksekusi tanpa pernah mendapat pengakuan yang layak dari negaranya sendiri.
Namun, ide dan semangatnya tetap hidup.
Di era sekarang, mungkin kita tidak lagi berhadapan dengan penjajah dalam bentuk fisik. Tapi kita masih berhadapan dengan ketidakadilan, kesenjangan sosial, dan oligarki yang menguasai politik serta ekonomi.
Maka, kalau kita ingin meneladani Tan Malaka:
Pikirkan sebelum mengikuti – Jangan jadi generasi yang mudah terprovokasi tanpa memahami isu secara mendalam.
Jangan takut berbeda – Jika yakin dengan kebenaran, tegakkan meski sendirian.
Organisir, bukan hanya teriak – Perubahan tidak datang dari opini semata, tapi dari aksi yang terstruktur.
Jangan menjual idealisme untuk kenyamanan – Revolusi bukan jalan pintas menuju kemapanan.
Dan ingat, sebagaimana kata Tan Malaka:
“Untuk mencapai sesuatu, seseorang harus berani memulai, walaupun kecil.”
Jadi, mari mulai dari diri kita sendiri. Sebuah perlawanan, sekecil apa pun, tetap lebih berarti daripada diam dalam kepasrahan.