Anak Muda Cangkruk Ragam

Soekarno Tersenyum: Melihat Anak Muda Larut Malam Memikirkan Kampung

Pernah nggak sih, kalian ngerasain lagi ngobrol bareng temen-temen, tiba-tiba diskusi tentang “kampung” muncul dan itu jadi topik utama yang bikin kepala pusing tujuh keliling? Kayaknya baru kemarin aja, kalian lagi seneng-seneng nge-gas bareng di pinggir jalan sambil bicarain musik, tren terbaru, atau mungkin—kalau lagi deep banget—tentang hidup dan masa depan. Tapi, tiba-tiba aja, kampung jadi pembahasan paling penting. Yeaah, kampung! Tempat yang nggak pernah jauh dari hati, tapi kadang terkesan “ketinggalan zaman” buat anak muda yang katanya sudah “melek dunia”.

Bayangin deh, kalau Soekarno, presiden pertama kita, lagi duduk santai di kursi goyang, ngeliat gerombolan anak muda yang kelihatan seperti mereka baru aja ngumpul di warung kopi, ngobrol larut malam, sambil nyalain rokok, dan saling debat soal kondisi kampung. Bukannya marah atau kecewa, Soekarno pasti senyum-senyum sendiri, sambil mikir, “Wah, anak-anak muda sekarang, ternyata masih peduli juga ya dengan tanah kelahiran mereka.”

Mungkin Soekarno bakal ngelihat dengan tatapan penuh makna dan senyum yang nggak lepas. Karena di masa lalu, dia pun pernah bilang, “Berikan aku 10 pemuda, maka akan kuguncangkan dunia!” Mungkin hari ini, dia bakal bilang, “Berikan aku 10 pemuda yang peduli sama kampung, maka kampung-kampung itu akan mengguncangkan dunia!”

Gerombolan anak muda ini, yang katanya hidup di zaman serba canggih, dengan gadget canggih yang seolah-olah bikin semuanya jadi instan dan bisa serba cepat, malah sedang sibuk ngomongin gimana caranya supaya kampung mereka nggak cuma jadi tempat untuk pulang pas Lebaran. Mereka lagi mikirin tentang ekonomi kampung yang stagnan, tentang pembangunan yang mandek, tentang pemuda yang lebih banyak pergi ke kota besar ketimbang mengembangkan potensi kampung mereka. Kalau kata anak muda sekarang, mereka nggak mau jadi generasi yang cuma “numpang lewat” di kampung yang cuma dijadiin tempat foto-foto keren di Instagram.

Tapi, meski kelihatan penuh kerumitan dan bisa bikin pusing kepala, Soekarno pasti bangga. Dia bakal bilang, “Wah, ternyata pemuda-pemuda ini sudah mulai paham arti pentingnya kekuatan dari kampung!” Soekarno tahu banget bahwa keberhasilan suatu bangsa nggak bisa cuma diukur dari kota besar atau gedung-gedung pencakar langit, tapi juga dari bagaimana tiap kampung bisa mandiri, sejahtera, dan bergerak bersama. Ya, sepertinya anak muda sekarang memang lagi nemuin makna itu. Kalau Soekarno denger, mungkin dia bakal melemparkan senyum lebar, semacam “Akhirnya, mereka paham juga!”

Tapi, jangan salah, walaupun anak-anak muda itu diskusi tentang “kampung” hingga larut malam, mereka juga nggak lupa untuk bawa obrolan itu dengan cara yang nyeleneh, lucu, dan kadang absurd. Ada yang ngomongin gimana cara supaya kampung mereka bisa punya Wi-Fi gratis tanpa harus nunggu dana dari pemerintah. Ada juga yang tiba-tiba melontarkan ide biar kampung jadi destinasi wisata, tapi tanpa harus mengubahnya jadi tempat foto ala-ala influencer. Pokoknya, semua ide itu datang dari pemikiran yang fresh dan penuh semangat—meskipun kadang agak absurd dan bikin tertawa.

Sambil mendengarkan, Soekarno pasti akan sedikit tertawa kecil. Sebagai orang yang dulu berjuang mati-matian dengan cara-cara yang revolusioner, dia bakal ngeliat ini sebagai bentuk revolusi baru. Nggak lagi lewat senjata atau demonstrasi besar-besaran, tapi lewat pikiran yang kritis dan ide-ide yang out of the box. Mungkin dia juga bakal merasa senang karena anak muda sekarang nggak lagi cuma mikirin gimana caranya nge-hits, tapi juga mikirin bagaimana cara mereka membuat perubahan nyata di kampung halaman mereka.

Jadi, walaupun obrolan mereka soal kampung kadang bisa jadi lucu dan menggelitik, ada sebuah pesan besar yang tersembunyi di balik itu. Pesan yang mungkin Soekarno bakal tepuk tangan untuk itu: bahwa perubahan itu datang dari akar, dari kampung-kampung yang memikirkan masa depan mereka sendiri. Soekarno tahu, revolusi yang sesungguhnya adalah revolusi yang bisa menggerakkan semua lapisan masyarakat, dari kota besar hingga ke kampung.

Dan mungkin, di akhir obrolan itu, Soekarno bakal bilang, “Anak-anak muda, teruslah berpikir kritis. Jangan berhenti berpikir tentang kampung, karena di situlah kekuatan sejati bangsa ini berada. Tetapi ingat, jangan lupa juga untuk tertawa, karena revolusi yang sukses adalah revolusi yang bisa membuat kita tetap bersemangat—dan sedikit tertawa.”

Tentu saja, senyumnya bukan sekadar senyum biasa. Itu senyum kebanggaan seorang pemimpin yang tahu bahwa warisan perjuangannya nggak hanya diteruskan dalam wacana besar, tapi juga dalam tindakan kecil yang dilakukan oleh anak muda yang masih peduli dengan kampungnya. Dan mungkin, just maybe, di balik senyum itu, Soekarno juga berpikir, “Mereka ini hebat, sih. Semangat revolusinya nggak hilang, malah semakin hidup.”

Janu Wisnanto

Janu Wisnanto

About Author

Penulis partikelir pojokan Sleman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Jangan ketinggalan Update dari kami

    Kami akan mengirimkan anda update terbaru dari Layanglayang Merah.

    LLM @2024. All Rights Reserved. | Developed with love ISW