Sore itu, Yogyakarta terasa hangat dengan angin sepoi-sepoi yang menyelinap di antara rimbunan pepohonan di sepanjang Jalan Bantul. Saya memutuskan untuk berjalan santai sambil menikmati suasana kota yang selalu memiliki cerita di setiap sudutnya. Langkah kaki membawa saya ke sebuah keramaian kecil di pinggir jalan. Aroma santan yang khas bercampur dengan wangi gula merah membuat saya berhenti sejenak.
Di depan saya, ada sebuah gerobak sederhana dengan tulisan “Serabi Kocor Bu Ngadinem”. Barisan orang mengular, sabar menanti giliran mereka. Pemandangan ini cukup mencuri perhatian—sebuah jajanan tradisional yang masih begitu dicintai di tengah gempuran kuliner modern.
Saya pun ikut mengantre, penasaran dengan kelezatan serabi kocor yang begitu legendaris di Bantul ini. Dari balik gerobak, seorang wanita paruh baya dengan kerudung sederhana terlihat sibuk menuang adonan ke atas cetakan tanah liat. Tangan cekatannya bekerja dengan ritme yang sudah terbiasa, seperti melodi yang sudah ia hafalkan sejak lama.
Ketika tiba giliran saya, ia menyapa dengan senyum hangat.
“Mau berapa, Nak?” tanyanya ramah.
“Dua, Bu. Yang paling favorit di sini pakai topping apa ya?”
“Serabi yang asli itu yang kocor pakai santan dan gula merah. Sederhana tapi nikmat. Mau coba?”
Saya mengangguk. Tak butuh waktu lama, dua serabi kocor tersaji di atas daun pisang, masih mengepulkan uap hangat. Saya duduk di bangku kecil di dekat gerobak dan mencicipinya.
Saat gigitan pertama menyentuh lidah, saya langsung paham mengapa serabi ini begitu digemari. Teksturnya lembut dengan bagian pinggir yang sedikit renyah, berpadu sempurna dengan kuah santan dan gula merah yang meresap ke dalamnya. Manisnya pas, tidak berlebihan, justru semakin nikmat seiring dengan hangatnya serabi yang meleleh di mulut.
Melihat saya menikmati serabi dengan begitu lahap, Bu Ngadinem tersenyum kecil. Saya pun memberanikan diri untuk mengobrol lebih jauh dengannya.
“Bu, sudah berapa lama jualan serabi ini?”
“Sejak 1998, Nak. Dulu saya mulai dengan modal seadanya, gerobaknya pun masih pinjaman. Tapi, alhamdulillah, karena banyak yang suka, bisa terus bertahan sampai sekarang.”
“Apa rahasianya, Bu? Kok bisa serabi ini tetap dicari orang setelah sekian lama?”
Ia tertawa kecil, lalu dengan mata yang penuh ketulusan menjawab, “Sederhana saja. Jaga rasa, jaga kepercayaan pelanggan. Kalau orang sudah suka, dia pasti akan datang lagi. Saya selalu buat serabi dengan hati, seperti saya memasak untuk keluarga sendiri.”
Saya terdiam sejenak. Ada sesuatu yang dalam dari kata-katanya.
“Kalau soal rezeki, kita ini cuma numpang lewat, Nak. Yang penting tetap usaha dan tidak serakah. Saya jualan bukan untuk cepat kaya, tapi supaya bisa tetap berbagi, tetap bermanfaat. Kalau serabi ini bisa bikin orang senang, itu sudah cukup buat saya,” lanjutnya.
Kata-kata itu terasa begitu menenangkan. Di zaman sekarang, di mana banyak orang berlomba mencari keuntungan sebesar mungkin, ada seseorang seperti Bu Ngadinem yang masih berpegang teguh pada nilai-nilai kesederhanaan dan kejujuran dalam berdagang.
Sebelum saya pamit, Bu Ngadinem menambahkan, “Kalau sempat, mampir lagi ya. Siapa tahu besok saya ada inspirasi baru buat serabi yang lebih enak.” Katanya sangat ramah.
Saya mengangguk sambil tersenyum, tentunya sebelum pulang saya membungkus beberapa serabi untuk dinikmati di rumah. Ternyata, serabi kocor ini bukan hanya soal rasa, tapi juga tentang filosofi hidup. Bahwa kesederhanaan yang dikerjakan dengan sepenuh hati bisa menjadi sesuatu yang luar biasa.
Jika suatu hari Anda berada di Yogyakarta, sempatkanlah mampir ke gerobak kecil di Jalan Bantul Km 6 ini. Nikmati seporsi serabi kocor, dan resapi pelajaran hidup yang tersaji di dalamnya.