Kiri

Sepakbola dan Perlawanan, Saatnya Suporter Menjadi Kombatan!

Di negara yang korup, sepakbola bukan cuma olahraga. Ia adalah perlawanan.

Dari tribun yang penuh nyanyian, dari suar yang menyala di kegelapan, dari peluit wasit yang sering kali jadi alat ketidakadilan—kita belajar bahwa sepakbola bukan sekadar permainan. Ia adalah ruang komunal, tempat emosi dikumpulkan dan kekuatan dihimpun. Ia adalah miniatur pertarungan hidup, di mana ketidakadilan harus dilawan, di mana kemenangan harus direbut, dan di mana kekalahan hanya ada bagi mereka yang menyerah.

Tapi sekarang, pertanyaannya adalah: sampai kapan kita hanya menyanyikan chant di stadion? Sampai kapan kita hanya marah ketika klub kita diperlakukan tidak adil oleh mafia sepakbola, tetapi diam saat rakyat diinjak-injak penguasa?

Sejarah Sepakbola yang Tak Pernah Bohong

Dari Amerika Latin hingga Eropa Timur, dari Afrika Utara hingga Asia, sepakbola telah lama menjadi alat perlawanan rakyat. Argentina punya Boca Juniors yang lekat dengan perlawanan kelas pekerja. Di Mesir, suporter Ultras Ahlawy bukan hanya fanatik terhadap klub Al Ahly, tetapi juga menjadi barisan depan Revolusi 2011 yang menumbangkan Hosni Mubarak. Di Serbia, suporter Red Star Belgrade ikut dalam pemberontakan melawan rezim Milosevic.

Kita juga punya kisah heroik sendiri. Ingat tragedi Kanjuruhan? Ingat bagaimana gas air mata membunuh ratusan nyawa tak bersalah? Ingat bagaimana setelah itu negara pura-pura berduka, lalu membiarkan para pembunuh itu melenggang bebas? Jika tragedi itu tidak membakar semangat perlawanan, lalu apalagi?

Sepakbola di negeri ini selalu bersinggungan dengan politik. Dari bagaimana klub-klub diperalat sebagai alat pencitraan para politisi, hingga bagaimana liga dikuasai oleh mafia. Tapi yang paling gila adalah bagaimana suporter selalu diminta “damai” oleh negara, sementara negara sendiri yang menciptakan kekacauan.

Mereka takut jika kita benar-benar bersatu.

Indonesia di Bawah Bayang-bayang Tirani

Sekarang lihatlah keadaan negeri ini. DPR dan pemerintah baru saja mengesahkan UU TNI yang memberi hak kepada tentara untuk menguasai jabatan sipil. Ini bukan sekadar aturan biasa. Ini adalah langkah mundur menuju Orde Baru, menuju zaman di mana militer mengendalikan segala aspek kehidupan kita.

Kita sudah melihat bagaimana TNI semakin tak tersentuh hukum. Mereka membunuh warga sipil, merampas tanah rakyat, menghajar mahasiswa, dan tetap melenggang bebas. Reformasi 1998 yang dulu kita perjuangkan kini dikencingi begitu saja.

Dan apakah kita hanya akan diam?

Jadilah Kombatan! Bukan Hanya Sekadar Penonton

Ini bukan saatnya kita hanya menyanyikan lagu-lagu di stadion. Ini bukan saatnya kita hanya sibuk bertengkar dengan suporter lain hanya karena warna bendera berbeda.

Sadarilah, musuh kita bukan suporter sebelah! Musuh kita adalah mereka yang merampas hak rakyat, mereka yang membiarkan polisi dan tentara membunuh tanpa konsekuensi, mereka yang menyusun undang-undang untuk memperkaya diri sendiri, mereka yang menghancurkan sepakbola kita dengan korupsi!

Jika kita bisa turun ke jalan untuk membela klub, mengapa kita tidak bisa turun ke jalan untuk membela rakyat? Jika kita bisa melawan aparat yang memukul suporter, mengapa kita tidak bisa melawan aparat yang menindas rakyat miskin?

Sudah saatnya kita menyatukan barisan. Suporter harus menjadi kekuatan revolusioner. Kita harus menjadikan tribun sebagai ruang konsolidasi, menjadikan koreografi sebagai propaganda perlawanan, menjadikan stadion sebagai tempat membangun kesadaran politik.

Mulailah dari hal kecil.

Bangun solidaritas antar-suporter. Jangan lagi mudah dipecah belah hanya karena rivalitas bodoh yang diciptakan oleh media dan politisi. Bentuk kelompok-kelompok diskusi di tribun. Bicarakan tentang keadaan negara, tentang korupsi, tentang ketidakadilan.

Jika Ultras Ahlawy bisa jadi barisan depan revolusi Mesir, mengapa kita tidak bisa? Jika suporter di Argentina bisa menjadi kekuatan politik, mengapa kita tetap diam?

Kawan-kawan di tribun, ingatlah: di negara yang korup, sepakbola adalah perlawanan!

Kini waktunya kita turun gunung. Waktunya tribun menjadi medan tempur, waktunya kita bukan hanya menyanyikan lagu perlawanan, tetapi benar-benar menjadi bagian dari perjuangan rakyat.

Bersatulah! Bergabunglah dengan rakyat! Hancurkan tirani!

Janu Wisnanto

Janu Wisnanto

About Author

Penulis partikelir pojokan Sleman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Jangan ketinggalan Update dari kami

    Kami akan mengirimkan anda update terbaru dari Layanglayang Merah.

    LLM @2024. All Rights Reserved. | Developed with love ISW