Lebaran sebentar lagi. Di seantero negeri, gema takbir akan bersahutan, tangan akan berjabat, dan kata maaf akan meluncur dari bibir-bibir yang kadang lebih sering berbohong daripada berkata jujur. Ada kebiasaan yang selalu terjadi setiap Idulfitri: orang-orang yang setahun penuh menusuk dari belakang, tiba-tiba datang dengan senyum manis meminta maaf. Seolah kata “maaf lahir dan batin” bisa menghapus segala dosa struktural dan kebiadaban yang mereka lakukan.
Aku bukan orang suci. Aku juga banyak salah. Makanya, aku akan memaafkan mereka yang bersalah padaku secara personal. Teman yang dulu menikung? Oke, kita damai. Orang yang dulu menggosipkan aku di belakang? Oke, aku anggap angin lalu. Bahkan, mereka yang dulu menertawakan perjuangan dan sekarang datang membawa keresahan? Aku akan sambut mereka dengan tangan terbuka.
Tapi ada yang tak akan aku maafkan. Ada kelompok-kelompok yang dosanya terlalu besar untuk dibilas dengan air wudhu atau dicuci dengan seribu takbir. Mereka bukan sekadar individu yang salah langkah, mereka adalah entitas yang secara sadar dan terstruktur menghancurkan masa depan banyak orang.
Pemerintah dan Rezim Oligarki
Idulfitri tak cukup besar untuk mengampuni dosa para penguasa yang membiarkan rakyatnya kelaparan sementara mereka berpesta pora di istana. Mereka yang menjual tanah, laut, dan udara kepada segelintir pemilik modal, mengorbankan petani dan nelayan, lalu pura-pura religius saat lebaran.
Bagaimana aku bisa memaafkan pemerintah yang membiarkan harga beras naik, sementara upah rakyat tetap dicekik? Bagaimana aku bisa memaafkan mereka yang pura-pura menangis saat mudik penuh tragedi, tapi diam saat jalanan penuh demonstran yang diterjang gas air mata?
Idulfitri bagi mereka hanya seremoni. Wajah-wajah mereka muncul di spanduk ucapan selamat lebaran, lengkap dengan senyum palsu dan jargon penuh kepalsuan. Mereka membangun pencitraan, membagikan sembako, lalu kembali ke meja makan yang lebih mewah dari seluruh rumah warga miskin yang mereka abaikan.
Para Penjilat Kekuasaan
Ini spesies yang lebih menyebalkan daripada penguasa itu sendiri. Mereka bukan penguasa, bukan rakyat, tapi makhluk perantara yang hidup dari menjual harga dirinya. Mereka mengkhianati teman, menjual idealisme, dan mendukung kekuasaan dengan penuh kebanggaan.
Kita pasti kenal tipe ini. Mereka yang dulu teriak “perjuangan!” tapi kini sibuk mengamankan proyek. Mereka yang dulu ikut rapat-rapat gelap untuk perlawanan, tapi kini menjadi humas pejabat. Mereka yang pernah mengecam penggusuran, tapi sekarang berdiri di belakang para pemodal sambil bilang “Ini demi pembangunan.”
Mereka ingin dimaafkan saat lebaran? Tidak semudah itu! Pengkhianatan mereka bukan sekadar kesalahan kecil yang bisa dikompensasi dengan parsel lebaran. Mereka adalah wajah dari pengkhianatan, dan selama mereka masih menari dalam irama kekuasaan, mereka tak layak dimaafkan.
Polisi dan Tentara yang Jadi Alat Rezim
Aku bukan orang yang membenci individu di dalamnya. Aku tahu ada polisi dan tentara yang baik. Tapi institusi mereka sudah terlalu korup untuk dibela.
Bagaimana aku bisa memaafkan aparat yang lebih sibuk memburu aktivis daripada koruptor? Bagaimana aku bisa mengampuni mereka yang membiarkan petani dan nelayan dipukuli, sementara para bandit berseragam bisa tenang menikmati hasil jarahannya?
Di negeri ini, polisi lebih cepat bertindak saat ada mural kritik dibanding saat ada konglomerat mencuri hutan. Mereka sigap menangkap mahasiswa yang demo, tapi lelet saat rakyat butuh keadilan. Mereka seharusnya mengayomi, tapi lebih sering menjadi palang pintu bagi penguasa yang takut kehilangan kekuasaannya.
Dan tentara? Ah, sejarah panjang sudah membuktikan bagaimana mereka kerap menjadi alat represi. Mulai dari pembantaian, penculikan, hingga operasi-operasi yang membungkam suara-suara perlawanan.
Jangan minta maaf padaku di Idulfitri ini. Minta maaflah kepada rakyat yang kalian tindas, kepada keluarga-keluarga yang kehilangan anaknya, kepada buruh, petani, dan nelayan yang haknya kalian injak.
Budak Oligarki
Mereka ini lebih menjijikkan dari para penguasa. Mereka bukan pejabat, bukan aparat, tapi merasa lebih loyal kepada pemilik modal daripada kepada rakyatnya sendiri.
Mereka adalah para akademisi yang membenarkan kebijakan jahat dengan teori-teori absurd. Mereka adalah buzzer yang mengais remah-remah dari meja oligarki. Mereka adalah para penulis opini yang membolak-balik fakta demi gaji dari pemodal.
Bagaimana aku bisa memaafkan mereka yang membuat masyarakat percaya bahwa eksploitasi adalah hal wajar? Bagaimana aku bisa memaafkan mereka yang dengan tenangnya membungkus kolonialisme modern dengan istilah “investasi”?
Lebaran Bukan Waktu untuk Berpura-pura
Idulfitri adalah hari kemenangan, bukan hari melupakan. Aku percaya pada konsep memaafkan, tapi tidak untuk mereka yang masih terus melakukan kejahatan. Aku tidak akan pura-pura ramah kepada penguasa zalim. Aku tidak akan tersenyum pada mereka yang mencuri hak rakyat. Aku tidak akan menjabat tangan mereka yang masih berlumur darah ketidakadilan.
Kepada sesama kawan perjuangan, aku ucapkan selamat Idulfitri. Kita memang kalah hari ini, tapi kita tidak akan berhenti. Kita masih punya nafas, kita masih punya suara, kita masih punya harapan.
Tapi kepada penguasa zalim, penjilat kekuasaan, aparat yang menindas, dan budak oligarki, jangan minta maaf padaku. Minta maaflah kepada rakyat yang kalian aniaya. Dan kalau kalian pikir dengan takbiran dosa kalian bisa hilang, ingat: Tuhan mungkin Maha Pemaaf, tapi rakyat belum tentu.