Prolog: Menahan Diri, Menahan Lapar, dan Menahan Pertanyaan Kapan Nikah
Ramadhan datang lagi. Bulan yang katanya penuh berkah, tapi juga penuh ujian. Bulan di mana orang-orang mendadak lebih religius dalam waktu semalam—sebelumnya rajin rebahan, kini mendadak rajin tadarusan. Bulan di mana warung makan ditutup pakai tirai, tapi tetap buka di dalam, karena rezeki harus tetap berjalan. Bulan yang datangnya selalu dinantikan, tapi pas udah masuk hari ke-10, mulai banyak yang mengeluh, “Kok lama banget ya?”
Aku—atau panggil saja aku Jagad, biar lebih dramatis—menganggap Ramadhan sebagai ajang pembuktian. Pembuktian bahwa aku bisa menahan lapar, menahan dahaga, dan menahan segala jenis godaan. Termasuk godaan untuk merespons chat mantan gebetan yang tiba-tiba mengirim pesan ambigu, “Marhaban ya Ramadhan,” tanpa konteks jelas. Apakah ini ajakan bertobat bersama? Atau hanya strategi untuk menguji mental?
Sebagai seseorang yang hidup di kampung, aku sudah hafal dengan ritme sosial Ramadhan. Sehari sebelum puasa, pasar mendadak seperti konser, semua orang berlomba membeli stok makanan seakan-akan bakal menghadapi kiamat kecil. Hari pertama puasa, grup WhatsApp keluarga ramai dengan nasihat-nasihat Islami dari orang yang, di luar Ramadhan, lebih sering membagikan video hoaks.
Tapi di antara semua fenomena itu, ada satu yang selalu membuatku berpikir lebih dalam: jika setan benar-benar dikurung selama Ramadhan, kenapa godaan masih tetap ada? Apakah mereka cuma WFH (Work From Hell) dan tetap memantau manusia lewat jaringan nirkabel? Atau jangan-jangan, godaan sebenarnya sudah tertanam dalam diri kita sendiri, tinggal menunggu momen lemah untuk keluar?
Ngomong-ngomong soal lemah, aku juga ingin mempertanyakan kenapa waktu terasa berjalan lebih lambat saat menunggu maghrib. Apakah ini bukti bahwa Einstein benar, bahwa waktu itu relatif? Jika iya, kenapa kecepatan waktu tidak bisa dipercepat sesuai keinginan? Kenapa satu menit terakhir sebelum adzan maghrib terasa lebih panjang daripada 30 menit pertama saat sahur?
Dan satu hal lagi yang tak bisa dihindari: pertanyaan “Kapan nikah?” yang akan mulai meningkat drastis menjelang lebaran. Ini fenomena tahunan yang seolah-olah sudah jadi bagian dari rukun sosial. Seakan-akan tujuan utama Ramadhan bukan hanya berpuasa, tapi juga sebagai ajang pencarian jodoh massal.
Tapi sudahlah, aku tak ingin terlalu serius. Ramadhan harus tetap dijalani dengan ringan, seperti perut yang kosong tapi penuh makna. Selamat datang di Sejagad: Sebulan Bersama Jagad. Sebuah perjalanan menelusuri makna Ramadhan dengan cara yang tidak terlalu serius, tapi juga tidak bisa dianggap bercanda. Sebulan penuh bersama Jagad—atau aku sendiri—menertawakan kehidupan sambil berharap puasa tetap lancar, kantong tetap aman, dan jiwa tetap waras.