Anak Muda Cangkruk Opini Ragam

Ramadhan dan Turunnya Vibe: Dari Iklan Sirup sampai Arus Mudik yang Makin Garing

Ramadhan dulu dan Ramadhan sekarang beda banget. Bukan cuma karena kita makin tua dan lebih sering mikirin THR daripada jadwal tarawih, tapi juga karena vibe-nya yang terasa makin menurun setiap tahun. Coba deh ingat-ingat, dulu kalau Ramadhan datang, kita bisa langsung merasakan auranya: dari iklan sirup yang nyengat di TV sampai suasana kampung yang tiba-tiba jadi lebih islami (setidaknya selama sebulan). Sekarang? Entahlah.

Mari kita bahas satu per satu tanda-tanda merosotnya vibe Ramadhan ini.

1. Iklan Sirup: Dari Magis Jadi Biasa Aja

Siapa yang dulu nungguin iklan sirup Marjan pas Ramadhan? Rasanya kayak trailer film blockbuster yang cuma tayang setahun sekali. Iklannya tuh magis, penuh warna, ada pantulan sinar matahari di air yang dituangkan, plus backsound yang bikin hati adem. Pokoknya, begitu iklan itu muncul, kita langsung paham: Ramadhan is coming!

Sekarang? Iklan sirup masih ada, sih. Tapi rasanya kayak kurang niat. Udah nggak sekeren dulu, nggak ada yang baru, dan bahkan kita lebih sering skip kalau nonton di YouTube. Mungkin juga karena kita makin tua dan nggak lagi sesimpel dulu, yang langsung bahagia cuma gara-gara lihat air merah dituangkan ke gelas.

2. Sinetron Ramadhan: Dari Religius ke Drama Murahan

Dulu, sinetron Ramadhan punya cerita yang menyentuh. Kalau nggak tentang anak durhaka yang tobat, ya kisah kiai kampung yang baik hati. Meskipun kadang lebay, setidaknya ada pesan moralnya.

Sekarang? Jangan harap ada sinetron Ramadhan yang benar-benar Ramadhan. Yang ada malah drama percintaan yang dibungkus islami. Tokohnya ya tetap artis-artis itu lagi, tapi sekarang pakai gamis dan peci. Ceritanya tetap sama: rebutan warisan, perselingkuhan terselubung, dan konflik keluarga yang sebenarnya nggak ada hubungannya sama Ramadhan.

Bahkan program sahur yang dulu seru, penuh lawakan khas ala Extravaganza, sekarang lebih banyak gimmick murahan yang dipaksakan biar viral.

3. Ngabuburit: Dulu Seru, Sekarang Sibuk Scroll TikTok

Ngabuburit dulu adalah seni menunggu adzan Maghrib dengan cara yang menyenangkan. Main bola di lapangan, jalan-jalan sore ke alun-alun, atau sekadar nongkrong di warung sambil bahas kehidupan. Ada interaksi sosialnya.

Sekarang? Ngabuburit lebih banyak dihabiskan dengan scroll TikTok atau nonton drakor. Niatnya cuma mau nonton satu episode, tahu-tahu sudah buka puasa dan kita masih di kasur dengan mata sepet. Interaksi sosial? Paling cuma balas story teman yang pamer es buah.

4. Tarawih: Jamaah Makin Menyusut

Dulu, masjid pas tarawih tuh kayak konser Coldplay: penuh sesak, sampai banyak yang salat di luar saking ramenya. Bahkan bocah-bocah pun ikut meramaikan, meskipun lebih banyak lari-lari daripada salatnya.

Sekarang? Malam pertama masih ramai, malam kedua mulai berkurang, dan masuk minggu kedua sudah tinggal setengah saf. Masjid yang awalnya penuh semangat, mendadak jadi sepi. Di minggu terakhir? Jangan harap. Orang-orang lebih sibuk belanja baju Lebaran ketimbang bertahan di saf depan.

5. Sahur On The Road: Dari Solidaritas Jadi Ajang Konten

Sahur On The Road dulu identik dengan berbagi makanan kepada orang-orang yang kurang mampu. Ada rasa solidaritas di sana. Kita rela bangun lebih awal, keliling kota, dan berbagi dengan tulus.

Sekarang? Sahur On The Road lebih sering jadi ajang konten media sosial. Yang penting ada video bagi-bagi makanan, lalu pulang. Kadang malah lebih banyak yang nongkrong di jalanan daripada yang benar-benar berbagi. Ujung-ujungnya? Tawuran antar geng motor.

6. Pantauan Arus Mudik: Dulu Seru, Sekarang Basi

Dulu, nonton berita pantauan arus mudik tuh kayak ritual wajib. Kita ngeliatin jalanan yang macet total sambil bersyukur nggak ikutan terjebak di sana. Ada keseruan tersendiri melihat reporter berdiri di pinggir jalan, melaporkan antrean kendaraan yang nggak bergerak.

Sekarang? Berita mudik nggak lagi menarik. Mungkin karena pemerintah sudah lebih siap, atau karena kita sudah terbiasa melihat kemacetan setiap hari. Bahkan banyak yang sekarang lebih memilih mudik di luar jadwal biar nggak kena macet.

Lalu, Apa yang Salah?

Kenapa vibe Ramadhan makin menurun? Apakah ini sekadar perasaan kita saja, atau memang ada yang berubah?

Mungkin jawabannya ada di kita sendiri. Kita yang dulu bahagia hanya dengan menonton iklan sirup, sekarang lebih sibuk dengan urusan duniawi. Kita yang dulu semangat tarawih, sekarang lebih pilih tidur lebih awal biar besok nggak telat kerja.

Mungkin juga ini efek dari dunia yang makin serba digital. Ramadhan yang dulu terasa lebih spiritual, sekarang lebih banyak dibungkus dalam bentuk konten media sosial. Kita lebih sibuk cari tempat bukber yang Instagramable daripada benar-benar menikmati esensi Ramadhan itu sendiri.

Tapi ya sudahlah. Namanya juga zaman berubah. Yang penting, meskipun vibe Ramadhan makin turun, semoga iman kita nggak ikut turun. Setidaknya, jangan sampai kita lebih sibuk pilih filter Instagram buat foto bukber ketimbang menyiapkan hati buat bulan yang katanya penuh berkah ini.

Selamat menjalani Ramadhan, semoga kita nggak cuma sibuk scroll TikTok sambil nunggu azan.

Janu Wisnanto

Janu Wisnanto

About Author

Penulis partikelir pojokan Sleman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Jangan ketinggalan Update dari kami

    Kami akan mengirimkan anda update terbaru dari Layanglayang Merah.

    LLM @2024. All Rights Reserved. | Developed with love ISW