Opini Politik

Potong yang Penting, Tambah yang Gimmick: Negeri yang Ajaib!

Di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi, rakyat semakin sering dibuat bingung. Keajaiban demi keajaiban terus terjadi, bukan yang bikin hidup lebih baik, tapi yang justru bikin masyarakat geleng-geleng kepala. Keputusan yang diambil pemerintah sering kali terasa tidak masuk akal: anggaran yang menyangkut kepentingan rakyat dipangkas, sementara yang nggak jelas manfaatnya justru bertambah.

Dampaknya? Jangan salah, ini bukan sekadar isu politik biasa. Efeknya menyeluruh, menekan sektor-sektor vital yang selama ini menjadi penopang kehidupan rakyat. Dari pendidikan, kesehatan, ekonomi daerah, hingga hak akses publik, semuanya kena imbas.

Potong Dulu, Nyesel Belakangan: Sektor Vital yang Dipangkas

Belakangan ini, kita semakin sering mendengar pemangkasan di sektor Aparatur Sipil Negara (ASN), terutama di bidang yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Guru honorer semakin terhimpit, tenaga medis dikurangi, penyuluh pertanian tak jelas nasibnya.

Kita ambil contoh di sektor pendidikan.

Guru honorer yang selama ini menjadi tulang punggung sekolah-sekolah, terutama di daerah, kini semakin tidak menentu masa depannya. Status mereka tak kunjung jelas, sementara jumlah tenaga pendidik tidak sebanding dengan jumlah siswa.

Akibatnya, di beberapa sekolah, satu guru harus mengajar lebih banyak kelas, dengan beban kerja yang semakin berat. Kualitas pendidikan? Jangan tanya, jelas menurun.

Ironisnya, di saat tenaga pendidik dikurangi, staf khusus (stafsus) justru bertambah. Padahal, tanpa stafsus pun, kebijakan pendidikan sudah sering kali membingungkan.

Dampak lainnya terjadi di sektor kesehatan.

Banyak tenaga kesehatan kontrak yang tidak diperpanjang, terutama di daerah-daerah.

Sementara itu, fasilitas kesehatan semakin terbatas. Pasien tetap sakit, tapi tenaga medis berkurang.

Akibatnya, antrean di rumah sakit semakin panjang, pelayanan semakin lambat, dan masyarakat semakin kesulitan mendapatkan akses kesehatan yang layak.

Lalu di sektor pertanian?

Penyuluh pertanian yang seharusnya membantu petani dalam mengelola lahan dan meningkatkan produksi semakin sedikit.

Subsidi pupuk makin sulit diakses, petani harus mencari cara sendiri untuk bertahan.

Lucunya, di sisi lain, pejabat bisa dengan mudah melakukan studi banding ke luar negeri untuk “belajar” pertanian modern.

Jika sektor pendidikan, kesehatan, dan pertanian sebagai tiga pilar utama kesejahteraan rakyat sudah dikorbankan, lalu ke mana arah kebijakan negara ini sebenarnya?

Nyari Cuan Ala Recofussing: Dampak ke Ekonomi Daerah

PPN 12% ditolak rakyat? Santai, pemerintah punya banyak cara untuk mencari pemasukan lain. Salah satunya adalah recofussing anggaran—yang sayangnya, lagi-lagi, justru berdampak buruk bagi daerah dan masyarakat kecil.

Ambil contoh Yogyakarta.

DIY adalah daerah yang sangat bergantung pada sektor pariwisata. Pendapatan Asli Daerah (PAD) banyak berasal dari pajak hotel, restoran, dan destinasi wisata.

Jika anggaran pariwisata dipangkas, otomatis promosi wisata berkurang, daya tarik wisata menurun, dan jumlah kunjungan wisatawan pun anjlok.

Efek domino pun terjadi: hotel kehilangan tamu, restoran kehilangan pelanggan, pekerja sektor pariwisata banyak yang dirumahkan.

Dampaknya lebih luas lagi.

Jika ekonomi daerah melambat, daya beli masyarakat menurun.

Jika daya beli turun, sektor perdagangan ikut lesu.

Jika ekonomi daerah semakin lemah, ketergantungan terhadap dana transfer pusat semakin tinggi.

Jadi pertanyaannya, apakah ini sekadar kebijakan untuk menutup defisit anggaran, atau memang ada pola untuk membuat daerah semakin tidak mandiri?

Laut yang Dipagari: Ketika Akses Publik Juga Dipotong

Sebagai pelengkap ironi, ada satu kejadian yang makin menunjukkan bahwa kebijakan potong-memotong ini tidak hanya berdampak pada sektor ekonomi dan birokrasi, tapi juga pada hak dasar masyarakat.

Laut, yang seharusnya menjadi akses publik, kini mulai dikavling.

Beberapa waktu lalu, muncul kasus di mana masyarakat tidak bisa lagi mengakses laut karena kawasan tersebut dipagari dan diklaim sebagai milik pihak tertentu.

Yang lebih menyedihkan, nelayan yang selama ini mencari nafkah di laut justru semakin kehilangan ruang geraknya.

Ini bukan hanya tentang kehilangan tempat rekreasi, tapi juga tentang sumber mata pencaharian yang semakin sempit.

Jika akses ke laut saja bisa dibatasi, apa lagi yang akan “dijual” berikutnya?

Jurusan Stafsus: Ada Lowongan?

Di tengah pemangkasan sektor-sektor vital ini, ada satu hal yang justru semakin berkembang: jumlah staf khusus.

Dari yang dulunya hanya ada satu-dua, sekarang menjamur di berbagai level pemerintahan.

Bahkan, Raffi Ahmad dan Deddy Corbuzier pun diangkat jadi stafsus. Sementara itu, di daerah, bupati dan gubernur justru tidak diperbolehkan mengangkat stafsus.

Lucunya, kita bahkan tidak tahu dengan jelas apa tugas mereka, selain menambah beban anggaran negara.

Mungkin ada baiknya kampus mulai membuka jurusan baru: Ilmu Stafsus dan Konsultan Gimmick Pemerintahan.

Cara masuk jurusan ini? Gampang!

1. Punya kedekatan dengan pejabat.

2. Jago membuat konten media sosial.

3. Bisa menyusun kalimat motivasi yang membius publik.

 

Karena sepertinya, di negeri ini, yang sukses bukanlah mereka yang bekerja keras membangun negara, tapi mereka yang tahu bagaimana memainkan pencitraan.

Efeknya ke Mana-mana, Sampai Kapan?

Negeri ini semakin tidak masuk akal. Yang penting dipotong, yang nggak perlu ditambah. Efeknya tidak main-main:

1. Pendidikan semakin sulit diakses, karena guru honorer terabaikan.

2. Kesehatan semakin mahal, karena tenaga medis berkurang.

3. Ekonomi daerah melemah, karena anggaran dipangkas.

4. Hak akses publik menyempit, karena sumber daya alam dikomersialisasi.

5. Sementara itu, lingkaran kekuasaan makin gemuk dengan stafsus dan proyek-proyek seremonial.

 

Jika kondisi ini terus dibiarkan, rakyat hanya akan semakin ditekan, sementara segelintir orang semakin menikmati keuntungan.

Jadi, apakah kita hanya akan diam? Atau kita masih punya suara untuk menuntut perubahan?

Kalau kita diam, negeri ini akan terus berjalan dengan logika ajaibnya: rakyat yang harus berhemat, sementara penguasa tetap berpesta.

Sungguh, negeri ini memang selalu punya cara untuk bikin kita ketawa—sayangnya, sambil menangis.

Janu Wisnanto

Janu Wisnanto

About Author

Penulis partikelir pojokan Sleman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Jangan ketinggalan Update dari kami

    Kami akan mengirimkan anda update terbaru dari Layanglayang Merah.

    LLM @2024. All Rights Reserved. | Developed with love ISW