Pernah nggak sih, kamu merasa sudah membayar sesuatu dengan harga premium, tapi ternyata yang kamu dapat justru barang kelas dua? Rasanya kayak beli kopi mahal di kafe hits, tapi ternyata isinya kopi sachetan yang dikasih foam biar kelihatan fancy.
Nah, sekarang bayangkan itu terjadi pada bahan bakar yang kamu pakai tiap hari. Bensin yang katanya “bagus”, “beroktan tinggi”, dan “lebih ramah lingkungan”, ternyata cuma Pertalite yang dipoles supaya terlihat seperti Pertamax. Yang lebih gila, ini bukan ulah tukang bensin eceran pinggir jalan, tapi dugaan permainan di level atas—oknum di dalam Pertamina sendiri.
Aku nggak kaget. Kamu juga nggak kaget, kan? Karena negara ini sudah berkali-kali menipu rakyatnya. Skandal BBM oplosan ini cuma satu bab kecil dalam buku tebal berjudul “Bagaimana Indonesia Menipu Rakyatnya Sejak Dulu Kala”.
BBM Oplosan dan Drama di Baliknya
Kasus ini mencuat setelah Kejaksaan Agung menetapkan tujuh tersangka dalam dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina Patra Niaga. Singkatnya, mereka diduga mengimpor bahan bakar kualitas rendah (RON 90 alias Pertalite), lalu mencampurnya dengan zat tertentu biar naik oktannya jadi RON 92 (Pertamax). Trik sulap BBM ini terjadi sejak 2018 sampai 2023 dan diperkirakan bikin negara rugi Rp193,7 triliun.
Tapi, kita tahu kan? Kata “negara rugi” itu cuma bumbu biar terdengar nasionalis. Yang rugi sebenarnya rakyat. Kita. Kamu yang tiap hari ngantri di SPBU. Aku yang tiap bulan harus bayar pajak kendaraan. Kita semua yang percaya kalau harga BBM naik demi “stabilitas ekonomi”, tapi ternyata uangnya malah dikorupsi.
Pemerintah sih, biasanya bakal muncul dengan pernyataan template:
“Kami akan melakukan investigasi menyeluruh.”
“Kami akan menindak tegas pelaku yang terlibat.”
“Ini bukan kebijakan resmi, melainkan ulah oknum.”
Lalu kita semua tahu akhirnya bagaimana: kasus akan berjalan lambat, para tersangka (kalau ada yang benar-benar ditangkap) akan disidang bertahun-tahun tanpa kejelasan, dan ujungnya, kita bakal lupa sendiri karena ada kasus baru yang lebih fresh untuk kita obrolkan di Twitter atau TikTok.
Skandal BBM yang Pernah Terjadi di Indonesia
Seperti yang sudah aku bilang, ini bukan pertama kalinya kita ditipu dalam urusan BBM. Sejak dulu, kita sudah sering jadi korban permainan bisnis minyak yang penuh kepentingan.
Mafia Solar Subsidi (2022)
Tahun 2022, terbongkar kasus penyelundupan solar subsidi ke industri besar. Solar yang seharusnya buat nelayan dan petani malah dijual ke pabrik-pabrik dengan harga lebih tinggi. Yang lebih nyebelin, ketika stok solar di SPBU habis, pemerintah malah nyalahin rakyat karena “boros BBM”.
Oplosan BBM di SPBU (2024)
Beberapa SPBU di Jakarta dan Tangerang kedapatan mencampur BBM dengan zat tambahan supaya volumenya lebih banyak. Konsumen bayar full, tapi dapat bensin encer. Mesin motor dan mobil jebol? Ya, salahmu sendiri karena nggak hati-hati.
Kenaikan Harga BBM yang Aneh (2013 & 2022)
Tahun 2013, pemerintah tiba-tiba menaikkan harga BBM dengan alasan “subsidi membebani anggaran negara”. Tahun 2022, skenario yang sama diputar ulang. Subsidi BBM dikurangi, harga naik, dan kita semua dipaksa menerima kenyataan bahwa kebijakan ekonomi selalu lebih berpihak pada korporasi ketimbang rakyat.
Premium yang “Dimatikan Secara Halus” (2017 – 2021)
Dulu kita punya BBM murah bernama Premium. Lalu, diam-diam Premium mulai susah ditemukan. Pemerintah nggak pernah bilang kalau mereka sengaja menghapusnya, tapi tiba-tiba kita semua dipaksa beralih ke Pertalite. Lucunya, setelah Premium lenyap, Pertalite pun naik harga pelan-pelan. Ujungnya? Kita tetap bayar lebih mahal untuk bensin yang kualitasnya nggak jauh beda.
Pembohongan-Pembohongan Lain yang Pernah Kita Telan Mentah-Mentah
BBM bukan satu-satunya sektor di mana kita sering dibohongi. Masih ada daftar panjang pembohongan publik yang kita telan bulat-bulat.
BLT dan Bansos yang Bocor
Setiap ada bantuan langsung tunai (BLT) atau bansos, pasti ada berita tentang dana yang raib entah ke mana. Entah masuk ke kantong pejabat, dipotong “biaya administrasi”, atau diberikan cuma ke kelompok tertentu.
“Tol Gratis Setelah 10 Tahun”
Zaman dulu, banyak jalan tol yang dijanjikan bakal gratis setelah 10 tahun. Kenyataannya? Tol yang ada justru makin mahal, bukan makin gratis.
Proyek IKN yang Katanya “Tanpa Bebani APBN”
Pemerintah bilang pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) tidak akan memakai banyak dana APBN, karena investasi swasta akan masuk. Faktanya? Sampai sekarang, investasi swasta seret, dan APBN tetap harus turun tangan.
BPJS Kesehatan yang Katanya Akan “Meringankan Beban Rakyat”
Sistem BPJS Kesehatan awalnya dijual dengan narasi bahwa ini solusi terbaik buat layanan kesehatan rakyat. Tapi, coba deh tanya mereka yang pernah antre berjam-jam di puskesmas, atau yang ditolak rumah sakit karena “kelasnya tidak sesuai”.
Kita Bangsa yang Terlalu Pemaaf
Yang bikin aku gregetan, kita ini bangsa yang terlalu gampang lupa dan terlalu gampang memaafkan. Tiap kali ada skandal besar, kita heboh beberapa hari, lalu lupa. Media sosial riuh dengan tagar-tagar protes, tapi seminggu kemudian kita kembali sibuk dengan urusan masing-masing.
Buktinya? Kasus Jiwasraya, Asabri, BLBI, e-KTP, semua sempat jadi headline, tapi sekarang nggak ada yang peduli. Bahkan banyak tersangka korupsi yang entah bagaimana bisa bebas dan hidup nyaman.
Kita terlalu sering bilang, “Ya udahlah, mau gimana lagi?”
Padahal justru karena kita selalu “mau gimana lagi”, mereka jadi seenaknya.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Aku nggak akan bilang “mari kita revolusi” atau “turun ke jalan”, karena aku tahu itu nggak realistis buat semua orang. Tapi setidaknya, kita bisa mulai dari hal kecil:
Jangan gampang percaya janji pemerintah
Baca berita dari berbagai sumber, jangan cuma satu media yang itu-itu saja.
Awasi kebijakan publik
Kalau ada kebijakan baru, coba analisis: siapa yang benar-benar diuntungkan? Kalau jawabannya bukan rakyat kecil, berarti ada yang salah.
Jangan berhenti bersuara
Suara kita mungkin kecil, tapi kalau semua orang diam, maka mereka makin leluasa menipu.
Dukung transparansi dan akuntabilitas
Dorong pemerintah untuk lebih transparan. Gunakan hak kita sebagai warga negara untuk menuntut pertanggungjawaban.
Karena kalau kita terus membiarkan diri ditipu, jangan salahkan siapa-siapa kalau suatu hari kita bangun dan sadar bahwa kita telah hidup dalam kebohongan yang sempurna.
Kita ini bangsa yang terlalu sering ditipu tapi selalu pura-pura lupa, terlalu sering dikhianati tapi tetap percaya, terlalu sering dibohongi tapi masih berharap kejujuran, seakan-akan kesetiaan kita pada negara ini adalah kutukan yang membuat kita terus-menerus menerima nasib tanpa perlawanan; kita marah sebentar, ribut di media sosial, membanjiri kolom komentar, tapi seminggu kemudian kembali sibuk dengan cicilan, pekerjaan, dan sinetron murahan, membiarkan para penipu berdasi tetap berkuasa, koruptor tetap pesta pora, dan oligarki tetap menghisap habis hak-hak kita, sampai suatu hari kita benar-benar tak punya apa-apa lagi selain penyesalan karena terlalu lama diam dan membiarkan segalanya terjadi.