Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Ada begitu banyak yang harus dikatakan, begitu banyak yang harus diteriakkan, tetapi kita tahu, teriak sekencang apa pun tetap kalah dengan bisikan di ruang-ruang gelap kekuasaan. Tapi baiklah, mari kita coba.
Mantu Soeharto dan Cucu Soekarno Bersatu: Rekonsiliasi atau Persekongkolan?
Kalau dulu Bung Karno dan Soeharto adalah dua kutub yang bertarung di panggung sejarah, hari ini keturunan mereka justru bersanding dalam panggung kekuasaan. Prabowo, sang menantu Soeharto, kini menjadi Presiden. Puan Maharani, cucu Soekarno, tetap nyaman di singgasananya sebagai Ketua DPR. Seharusnya, ini jadi perayaan persatuan, bukan?
Tidak! Ini bukan rekonsiliasi, ini persekongkolan. Ini bukan tentang menyatukan dua kutub yang dulu bertikai, tapi tentang dua dinasti yang akhirnya menyadari bahwa mereka lebih untung kalau bersekutu. Mereka duduk di meja yang sama, bukan untuk kepentingan rakyat, tapi untuk memastikan takhta mereka tetap kokoh.
Dulu, ketika Reformasi 1998 menumbangkan Orde Baru, kita berharap ada jeda, ada kesempatan bagi demokrasi untuk bernapas. Tapi lihatlah hari ini! Dengan dalih “membangun negara yang kuat,” mereka diam-diam merajut kembali benang-benang kekuasaan lama.
RUU TNI Disahkan, Dwifungsi TNI Bangkit Lagi?
Dan inilah puncaknya. DPR—yang lebih sering berfungsi sebagai tukang stempel pemerintah—baru saja mengesahkan RUU TNI. Isinya? Legitimasi bagi militer untuk kembali masuk ke jabatan-jabatan sipil.
Kita sudah pernah melihat babak ini. Ini déjà vu. Dwifungsi TNI adalah hantu lama yang seharusnya sudah kita kubur dalam-dalam, tapi sekarang ia bangkit lagi, lengkap dengan seragam hijau dan jargon keamanan negara.
Reformasi yang kita perjuangkan dengan darah dan air mata 26 tahun lalu kini dikencingi di depan mata. Dulu, TNI harus netral, harus kembali ke barak. Kini? Mereka mulai merayap lagi ke meja birokrasi, ke kantor-kantor sipil, ke dalam ruang-ruang yang seharusnya diisi oleh orang-orang yang mewakili rakyat, bukan militer.
Mereka bilang ini demi stabilitas.
Mereka bilang ini demi ketertiban.
Tapi kita tahu, ini adalah awal dari kontrol penuh atas rakyat. Jika tentara masuk ke semua lini pemerintahan, apa bedanya kita dengan negara militer? Apa bedanya ini dengan era sebelum Reformasi?
Demokrasi yang Mati dalam Senyap
Seperti katak dalam air yang dipanaskan perlahan, kita tidak sadar bahwa demokrasi sedang dimasak hingga matang, siap disantap oleh mereka yang lapar kuasa.
Apakah ini kebetulan? Tidak. Ini skenario besar.
Pertama, mereka matikan oposisi. Lihat saja, siapa hari ini yang benar-benar bisa menantang penguasa? Mereka yang berani melawan dipinggirkan, dituduh radikal, diadili dengan pasal karet.
Kedua, mereka buat rakyat apatis.
Mereka biarkan kita sibuk dengan urusan perut, dengan cicilan, dengan hiburan instan, dengan pertengkaran di media sosial. Semuanya agar kita tidak peduli lagi dengan apa yang terjadi di atas sana.
Ketiga, mereka tarik militer kembali ke ranah sipil.
Ketika kekuasaan sipil sudah lemah, siapa yang akan menjaga stabilitas? Militer. Siapa yang akan memastikan tidak ada yang melawan? Militer. Siapa yang akan memegang kendali atas rakyat? Militer.
Dan begitulah, pelan tapi pasti, demokrasi yang dulu kita banggakan perlahan menghembuskan napas terakhirnya.
Bangkit atau Tenggelam!
Tapi saudara-saudara, sejarah belum selesai. Kita masih punya pilihan. Kita bisa tetap duduk diam dan membiarkan semua ini terjadi, atau kita bisa berdiri dan melawan.
Kita bisa kembali turun ke jalan, meneriakkan bahwa ini bukan negeri milik para jenderal dan politisi korup. Kita bisa menulis, berbicara, menyebarkan kesadaran bahwa demokrasi bukan barang murah yang bisa dijual kembali kepada militer.
Kita bisa memilih: bangkit dan berjuang, atau tenggelam dalam diam.
Karena kalau kita diam, maka sejarah akan mencatat kita sebagai generasi yang membiarkan demokrasi mati tanpa perlawanan.