Budaya Cangkruk Kasepuhan

Pasar Jambon: Cermin Kesederhanaan yang Kaya Makna

Matahari masih setengah mengintip dari balik cakrawala ketika saya melangkahkan kaki menuju Pasar Jambon, Gamping, Sleman. Udara pagi terasa segar, membawa aroma khas pasar tradisional—bau tanah yang masih lembap, wangi rempah-rempah dari lapak bumbu, dan samar-samar aroma gorengan yang baru saja diangkat dari wajan.

Saya melangkah perlahan, membiarkan diri larut dalam denyut kehidupan pasar yang bergerak dengan ritme khasnya. Pedagang dan pembeli saling bercakap, beberapa menawar harga dengan senyum ramah, sementara yang lain sekadar berbagi cerita tentang cuaca atau kabar keluarga.

Di sudut kanan, seorang ibu dengan cekatan menata cabai merah dalam tampah bambunya. “Cabainya pedas, Mas. Ini panenan sendiri,” katanya kepada seorang pembeli yang sibuk memilih-milih. Tak jauh dari situ, seorang lelaki tua dengan kaus lusuh tengah menimbang tempe buatannya sendiri. Setiap kali seseorang memuji tempenya yang padat dan harum, ia hanya tersenyum lebar, seolah-olah setiap keping tempe yang laku bukan hanya soal untung, tetapi juga kebanggaan.

Saya terus melangkah hingga sampai di lorong yang lebih kecil, tempat jajanan pasar tersusun rapi di atas meja kayu sederhana. Seorang bocah kecil menarik tangan ibunya, menunjuk kue-kue berwarna-warni dengan mata berbinar. Penjualnya, seorang nenek renta, tertawa kecil sebelum membungkus beberapa kue dengan daun pisang. “Dulu ibumu juga suka jajan ini waktu kecil,” ujarnya, membuat si ibu tersenyum haru.

Saya ikut berhenti di lapak itu. Apem yang baru matang masih mengepulkan uap, wangi tepung berasnya menguar ke udara. “Apemnya masih hangat, Mas. Mau coba?” tanya si penjual, seorang ibu paruh baya dengan senyum yang ramah. Saya mengangguk dan menunjuk beberapa kue apem serta jenang yang teksturnya lembut berkilau di atas daun pisang.

“Ini jenang sumsum, enak dimakan pakai gula merah cair,” ujarnya sambil menambahkan beberapa potong lumpia ke dalam bungkusan saya. Saya mengeluarkan beberapa lembar uang, tapi ia buru-buru berkata, “Sudah pas, nggak usah dikembalikan.”

Saya tersenyum, merasakan betapa berbeda suasana di pasar tradisional dibandingkan pusat perbelanjaan modern. Di sini, transaksi bukan sekadar soal uang, tapi juga tentang kepercayaan dan hubungan antar-manusia yang begitu erat.

Saya mencari tempat duduk di dekat warung kecil yang menjual teh hangat, lalu membuka bungkusan jajanan saya. Apem yang empuk dan sedikit kenyal itu meleleh di mulut, meninggalkan rasa manis yang pas. Jenang sumsumnya pun lembut, berpadu sempurna dengan legitnya gula merah. Saya menggigit lumpia yang renyah, sementara hiruk-pikuk pasar terus bergulir di sekitar saya.

Dari tempat saya duduk, saya melihat seorang pedagang yang tengah berbagi makanan dengan tukang parkir, seorang pembeli yang memberi sedikit uang lebih kepada seorang ibu yang berjualan sayur, serta anak-anak yang berlarian sambil menggenggam uang kertas untuk membeli jajanan. Pasar ini bukan hanya tempat transaksi ekonomi, tetapi juga ruang sosial yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan.

Saya tersadar bahwa pasar tradisional bukan hanya soal jual beli, tetapi juga tentang kebersamaan, saling percaya, dan keberlanjutan hidup yang mengalir apa adanya.

Di dunia yang semakin modern, tempat-tempat seperti Pasar Jambon adalah pengingat bahwa nilai sejati kehidupan tidak selalu diukur dengan kecepatan atau efisiensi, tetapi dengan bagaimana kita menjalin hubungan satu sama lain.

Seperti air yang terus mengalir di sungai, kehidupan sejati bukan tentang siapa yang paling cepat atau paling kaya, tetapi tentang bagaimana kita berbagi dan saling menguatkan di sepanjang perjalanan.

Saya menghabiskan tegukan terakhir teh hangat dan hisapan terakhir kretek saya, lalu berdiri dan melangkah keluar dari pasar. Dengan tangan yang kini penuh oleh kantong belanja dan hati yang terasa lebih ringan, saya menyadari bahwa dalam kesederhanaan, ada kekayaan yang tak ternilai: rasa kebersamaan dan kehangatan yang tak bisa dibeli dengan uang.

Janu Wisnanto

Janu Wisnanto

About Author

Penulis partikelir pojokan Sleman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Jangan ketinggalan Update dari kami

    Kami akan mengirimkan anda update terbaru dari Layanglayang Merah.

    LLM @2024. All Rights Reserved. | Developed with love ISW