Anak Muda Cangkruk Opini

Mohon Maaf Pimpinan, Staf Idolamu Sedang Tumbang

Antara Beban Kerja, Kelelahan, dan Realitas Anak Muda yang Tak Punya Rem

Suatu pagi di sebuah kantor yang dipenuhi pekerja muda, kreatif, bebas, dan berbahaya ada sebuah pesan masuk ke dalam grup kantor, begini pesannya:

“Mohon maaf pimpinan, staf idolamu sedang tumbang, mohon pengertiannya.” Kami berdecak kagum, seorang kawan dengan gagah berani mengirimkan pesan tersebut. Tidak ada reaksi langsung. Mungkin pabos sedang rapat, atau malah tidak terlalu ambil pusing. Namun, kami rekan satu tim paham betul bahwa ini bukan sakit yang biasa. Ini adalah hasil dari akumulasi investasi beban kerja yang tak dihindarkan.

Di era di mana produktivitas adalah segala-galanya, anak muda seperti kami seringkali harus menelan realita pahit; kerja keras, tidak cukup istirahat, dan kelelahan yang terus menumpuk. Semua itu bagian dari atas nama profesionalisme dan ekspektasi tinggi dari kantor, keluarga, lingkungan sosial, bahkan diri sendiri.

Bekerja Lebih dari Sekadar Mencari Nafkah

Bagi banyak anak muda, pekerjaan bukan sekadar urusan cari gaji. Ada tuntutan tersirat untuk membuktikan diri—bahwa kita bisa diandalkan, bahwa kita pantas dihargai, dan bahwa kita bukan sekadar staf biasa. Ditambah dengan budaya hustle culture, di mana lembur dianggap bukti dedikasi, dan kelelahan adalah lencana kehormatan, batas antara bekerja dan kehidupan pribadi jadi semakin kabur.

Dulu, kita berpikir bahwa pekerjaan ideal adalah yang tidak membuat kita stres. Namun, kenyataannya? Stres bukan hanya dari kerjaan, tapi dari keinginan untuk tetap unggul, tetap relevan, tetap diakui. Dalam banyak kasus, kita sendiri yang membebani diri dengan standar tinggi, takut jika performa menurun, kesempatan emas akan lenyap.

Ketika Pekerjaan Bukan Satu-satunya Kelelahan yang Kita Punya

Kalau saja kelelahan hanya datang dari kantor, mungkin segalanya masih bisa diatur dan ditolerir. Namun tidak. Setelah jam kerja berakhir, kita masih memiliki segudang aktivitas yang harus dihadapi, lengkap dengan segala kepahitan yang harus kita telan mentah-mentah.

Ekspektasi Sosial
Reuni, kondangan, atau sekadar nongkrong bersama teman yang sudah lama tak bersua. Menolak terlalu sering bisa dicap antisosial, tapi datang pun butuh energi yang tersisa.

Kewajiban Keluarga
Pulang kerja belum tentu bisa langsung istirahat. Ada orang tua yang ingin ditemani, keponakan yang butuh diajak main, atau sekadar obrolan panjang tentang kapan menikah dan kapan beli rumah.

Ambisi dan Passion
Banyak dari kita masih mengejar impian di luar pekerjaan utama: berbisnis kecil-kecilan, belajar skill baru, atau membangun proyek pribadi. Semua ini menyenangkan, tapi tetap butuh tenaga dan waktu.

Tekanan Hidup Modern
Media sosial membuat kita terus membandingkan hidup dengan orang lain. Rasanya semua orang punya hidup yang lebih menarik, lebih sukses, lebih berwarna. Akhirnya, kita terjebak dalam lingkaran ingin selalu lebih dan lebih.

Tubuh yang Protes, Tapi Dunia Tidak Berhenti Menunggu

Saat tubuh akhirnya mengibarkan bendera putih tanda menyerah, dampaknya tidak dapat dihindari begitu saja. Sakit kepala, demam, kelelahan kronis, bahkan burnout. Ironisnya, kita masih merasa bersalah saat izin sakit. Seolah-olah tubuh yang meminta istirahat adalah bentuk dari kegagalan.

Pimpinan mungkin tak selalu sadar bagaimana staf idolanya bekerja di balik layar. Mereka melihat hasil kerja yang rapi, deadline yang selalu terpenuhi, dan inisiatif tanpa diminta. Tapi yang mereka tak lihat adalah berapa kali kita harus tidur larut, berapa banyak energi mental yang terkuras, atau seberapa sering kita mengabaikan tanda-tanda kelelahan hanya demi profesionalisme.

Harus Seimbang, Tapi Bagaimana?

Kita paham pentingnya keseimbangan hidup, tapi realitasnya? Tidak selalu mudah. Ada tagihan yang harus dibayar, mimpi yang masih diperjuangkan, dan tanggung jawab yang tidak bisa dihindari.

Namun, mungkin kita bisa mulai dengan hal-hal kecil:

1. Belajar mengatakan tidak. Tidak semua undangan harus diterima, tidak semua kerjaan harus diambil sendiri.

2. Memberi batasan. Setelah jam kerja selesai, hentikan kebiasaan memeriksa email dan pesan kantor.

3. Menghargai istirahat. Tidur bukan hal mewah, melainkan kebutuhan.

4. Melepaskan mental “harus selalu sempurna.” Kita bukan robot. Ada hari di mana performa turun, dan itu wajar.

Di balik layar kantor, di luar cubicle dan meeting room, kita semua hanyalah manusia dengan batas energi masing-masing. Jadi, kalau suatu hari harus mengirim pesan seperti ini:

“Mohon maaf pimpinan, staf idolamu sedang tumbang.”

Biarlah. Itu bukan tanda kelemahan. Itu adalah pengingat bahwa kita butuh jeda. Dan dunia bisa menunggu sejenak

Janu Wisnanto

Janu Wisnanto

About Author

Penulis partikelir pojokan Sleman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Jangan ketinggalan Update dari kami

    Kami akan mengirimkan anda update terbaru dari Layanglayang Merah.

    LLM @2024. All Rights Reserved. | Developed with love ISW