Ada satu hal yang khas dari tongkrongan para pegiat pergerakan: obrolan yang kadang serius, kadang ngawur, tapi selalu mengarah ke satu hal—perlawanan. Di sela-sela kopi dan asap rokok, sering muncul celetukan yang terdengar sederhana tapi penuh makna. Salah satunya, yang baru-baru ini aku dengar di tongkrongan:
“Merah itu darah syuhada, hitam itu tinta ulama.”
Kalimat ini muncul begitu saja, tanpa riset mendalam, tanpa telaah sejarah yang ketat. Tapi, seperti banyak celetukan tongkrongan lainnya, ia menyimpan kegelisahan dan harapan. Dan anehnya, semakin dipikirkan, semakin masuk akal juga.
Merah dan Hitam dan Celetukan yang Berarti
Secara historis, merah-hitam memang erat dengan perlawanan. Dua warna ini banyak muncul dalam gerakan sosial, terutama antifasisme dan anarkisme. Tapi dalam tongkrongan kami, merah dan hitam mendapat tafsir baru yang lebih “cetek” tapi tetap menggugah.
Merah sebagai darah syuhada—menggambarkan keberanian dan pengorbanan. Dalam konteks pergerakan, ini bukan hanya tentang mereka yang gugur di medan perang, tetapi juga mereka yang melawan dengan nyawa sebagai taruhannya. Bisa jadi buruh yang dipukul saat demo, petani yang diusir dari tanahnya, atau aktivis yang hilang tanpa jejak.
Hitam sebagai tinta ulama—menggambarkan ilmu dan gagasan. Dalam sejarah perlawanan, selalu ada mereka yang bertarung dengan kata-kata. Dari pemikir besar seperti Tan Malaka hingga wartawan-wartawan kecil yang menulis realitas di media alternatif. Mereka yang memilih bertarung dengan pemikiran, menyusun strategi, dan menyebarkan kesadaran.
Benar atau tidak secara sejarah? Mungkin tidak terlalu akurat. Tapi bagi kami, itu bukan soal benar-salah. Itu soal semangat.
Antifasisme dan Konteks Hari Ini
Dulu, fasisme jelas bentuknya: seragam militer, propaganda rasis, dan pemerintahan yang represif. Tapi zaman berubah, fasisme pun berevolusi. Sekarang, ia tak selalu datang dalam bentuk diktator yang berteriak di podium. Ia bisa datang dalam kebijakan yang memiskinkan rakyat, dalam algoritma yang mengendalikan cara kita berpikir, dalam regulasi yang perlahan membunuh kebebasan.
Antifasisme hari ini bukan cuma soal melawan simbol swastika atau menolak supremasi rasial. Ia adalah perlawanan terhadap segala bentuk otoritarianisme yang menindas kebebasan dan hak-hak dasar manusia. Bisa jadi melawan pembungkaman media, melawan eksploitasi tenaga kerja, atau sekadar mempertahankan ruang diskusi agar tak dikuasai wacana tunggal.
Merah-hitam, dalam celetukan kami, adalah pengingat bahwa perlawanan harus punya dua kaki: satu di jalanan, satu di pemikiran.
Jangan Cuma Jadi Estetika
Di banyak tempat, merah-hitam sudah menjadi semacam fashion statement. Bendera antifasis dikibarkan di konser punk, dipasang di poster-poster gerakan, atau dijadikan logo komunitas radikal. Tidak ada yang salah dengan itu. Tapi kalau hanya berhenti di estetika, itu sama saja seperti memakai kaos Che Guevara tanpa tahu siapa dia sebenarnya.
Merah-hitam harus lebih dari sekadar simbol. Ia harus menjadi sikap. Jika merah adalah keberanian untuk melawan, maka hitam adalah kesadaran untuk memahami. Jika merah adalah aksi, maka hitam adalah refleksi.
Dan kalau pun akhirnya celetukan itu ternyata salah secara teori, biarlah. Setidaknya, itu sudah cukup membuat kami berpikir dan mencari tahu lebih dalam. Karena dari obrolan tongkrongan yang cetek, sering kali lahir pemikiran yang lebih matang.
Jadi, masih mau bilang ini cuma warna?