Anak Muda Kasepuhan

Meracik Syukur di Bawah Langit Malam

Malam itu, angin berembus pelan, membawa wangi tanah basah yang masih tersisa dari hujan sore tadi. Di surau kecil di tengah sawah, Jagad duduk bersila di atas tikar pandan. Sebatang rokok kretek terselip di jemarinya, menyala merah setiap kali ia mengisapnya dalam-dalam. Di hadapannya, Mbah Karno, lelaki tua dengan sorot mata teduh, meniup permukaan kopi hitamnya sebelum menyeruput perlahan.

“Jagad, kau ini kenapa wajahmu murung terus?” tanya Mbah Karno, meletakkan cangkirnya ke lantai kayu.

Jagad menarik napas panjang, menatap langit malam yang bertabur bintang. “Mbah, aku kadang merasa dunia ini nggak adil. Jogja yang dulu katanya istimewa, sekarang makin timpang. Lihat saja di kota, di sebelah kanan jalan ada hotel megah, tapi di seberangnya ada rumah-rumah yang nyaris roboh. Di kafe-kafe orang bisa habiskan ratusan ribu hanya untuk duduk-duduk, sementara di sudut lain, ada bapak-bapak tua yang masih nggenjot becak sampai tengah malam buat sekadar makan.”

Mbah Karno tersenyum tipis, lalu mengeluarkan sebatang rokok kretek dari kantong bajunya. Dengan gerakan yang lambat dan penuh kebiasaan, ia menyalakannya, mengisap, lalu menghembuskan asap ke udara.

“Kau tahu, Jagad,” katanya, “ketimpangan itu memang ada. Sudah dari dulu. Bukan hanya di Jogja, tapi di mana-mana. Dunia ini memang tidak pernah benar-benar adil, tapi bukan berarti kita harus tunduk atau sekadar meratapinya.”

Jagad menoleh, menunggu kelanjutan kata-kata lelaki tua itu.

“Syukur, Jagad. Orang sering menganggap syukur itu pasrah, padahal bukan. Syukur itu tentang memahami apa yang kita punya dan menjadikannya pijakan untuk melangkah. Kita boleh marah melihat ketimpangan, boleh resah melihat ketidakadilan, tapi kalau kita hanya diam atau sibuk mengutuki keadaan, kita nggak akan ke mana-mana.”

Jagad terdiam, tangannya meremas cangkir kopinya yang mulai dingin. “Tapi Mbah, bagaimana kalau kita merasa nggak punya apa-apa untuk disyukuri?”

Mbah Karno tertawa pelan. “Jagad, kau masih muda, kau punya tenaga, pikiran, dan semangat. Itu lebih dari cukup. Bersyukur bukan berarti berhenti berjuang, tapi justru dengan mensyukuri yang ada, kau bisa berpikir lebih jernih dan tidak tenggelam dalam amarah. Kalau kau ingin melihat perubahan, mulai dari diri sendiri. Lihat apa yang bisa kau lakukan, bukan hanya yang tidak bisa kau ubah.”

Angin malam kembali berembus, membawa aroma padi yang mulai menguning. Dari kejauhan, sayup-sayup terdengar suara kereta melintas di rel, mengingatkan Jagad bahwa waktu terus berjalan, dan dunia tak akan berhenti hanya karena seseorang merasa kecewa.

Jagad mengangguk pelan. Malam ini, di surau kecil di tengah sawah, ia menemukan sesuatu yang lebih berharga dari sekadar keluhan—ia menemukan arah.

Janu Wisnanto

Janu Wisnanto

About Author

Penulis partikelir pojokan Sleman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Jangan ketinggalan Update dari kami

    Kami akan mengirimkan anda update terbaru dari Layanglayang Merah.

    LLM @2024. All Rights Reserved. | Developed with love ISW