Hidup ini absurd. Kita kerja dari Senin sampai Jumat, buat bayar tagihan yang jatuh tempo di tanggal yang sama tiap bulan, sementara bos kita sibuk meeting buat beli vila kedua. Kita disuruh kerja keras biar sukses, tapi juga disuruh istirahat biar sehat. Kita disuruh punya rumah sebelum umur 30, tapi harga rumahnya naik lebih cepat dari gaji kita.
Kalau udah begini, kepala rasanya kayak traffic jam di simpang empat pas jam pulang kerja—penuh, ruwet, dan bikin pengen nyerah aja.
Dan di titik inilah, naik motor sendirian di malam hari jadi semacam terapi murah meriah.
Bukan, ini bukan pelarian. Ini bukan karena kita ingin jadi karakter utama di film indie yang suka termenung di balik visor helm. Ini juga bukan biar bisa bikin Instastory pakai lagu FSTVLST atau Perunggu (walaupun nggak salah juga sih). Ini soal bertahan hidup. Soal menjaga kepala tetap waras di dunia yang makin absurd ini.
Gaspol, Tapi Bukan Kabur dari Masalah
Naik motor sendirian itu kayak nge-restart komputer yang udah nge-hang. Setelah seharian ngadepin kerjaan yang nggak ada habisnya, WhatsApp dari klien yang selalu minta revisi tanpa tahu apa yang salah, dan pertanyaan dari tetangga “Kapan nikah?”, satu-satunya cara buat nggak melempar HP ke tembok adalah naik motor.
Gas pelan-pelan, ngerasain angin malam, jalan tanpa tujuan, dan membiarkan pikiran ngelayap kayak driver ojol yang nyari alamat yang nggak jelas di Google Maps.
Banyak yang bilang ini tindakan putus asa. Padahal justru sebaliknya. Ini adalah bentuk self-care yang paling masuk akal buat rakyat kelas menengah ngepas kayak kita.
Beda sama terapi psikolog yang mahal, naik motor cuma butuh bensin. Nggak ada konsultasi, nggak ada tes kepribadian, nggak ada tagihan di akhir sesi. Cuma ada kamu, motor, jalanan kosong, dan kebebasan buat nggak mikirin apa-apa sejenak.
Sendiri, Tapi Nggak Kesepian
Naik motor malam-malam itu adalah momen terbaik buat ngobrol sama diri sendiri.
Di lampu merah, kita mulai mikir, “Besok makan apa ya? Nasi padang atau mie ayam?”
Lewat perempatan, otak tiba-tiba ngelempar pertanyaan lebih dalam, “Sebenernya aku tuh hidup buat apa sih?”
Kena angin dingin, tiba-tiba sadar, “Lah, jemuran tadi udah diangkat belum?”
Dan ini yang bikin naik motor sendirian jadi pengalaman spiritual: kita sadar kalau hidup nggak cuma soal masalah besar yang bikin kepala meledak, tapi juga soal hal-hal kecil yang sering kita lupakan.
Momen-momen ini, di mana jalanan kosong tapi kepala penuh dengan pikiran, sering kali lebih jujur daripada obrolan kita sama orang lain. Soalnya, di atas motor, nggak ada yang bisa kita tipu—termasuk diri sendiri.
Jalanan Kosong, Pikiran Penuh
Di tengah malam, ketika jalanan mulai sepi, kita bakal sadar satu hal: kita nggak sendirian dalam kesepian ini.
Lihat di lampu merah, ada bapak ojol yang baru kelar narik. Mungkin dia juga lagi mikirin bagaimana caranya bayar uang sekolah anaknya bulan depan.
Di pinggir jalan, ada anak muda duduk sendirian di motor. Mungkin dia juga baru kena omelan bosnya di kantor.
Di seberang jalan, ada tukang nasi goreng yang masih buka. Mungkin dia juga punya beban yang sama beratnya.
Dan tiba-tiba, kita sadar satu hal yang lebih penting dari semua beban kita sendiri: semua orang juga lagi berjuang.
Kadang, di tengah perjalanan, kita bakal lihat warung kopi pinggir jalan yang masih buka. Ada bapak-bapak main gaple sambil ketawa kenceng. Ada ibu-ibu ngobrolin tetangga yang katanya beli kulkas baru. Ada anak muda yang ngelamun sambil ngisep rokok.
Dan kita mulai paham: ternyata hidup nggak selalu harus seberat yang kita pikirkan. Kadang, kita cuma perlu berhenti sebentar, beli kopi, duduk, dan ngetawain absurditas dunia ini.
Tersesat Itu Bukan Masalah
Salah satu hal terbaik dari naik motor malam-malam adalah kita bisa tersesat tanpa panik.
Biasanya, kalau naik motor siang hari dan kelewatan jalan, kita bakal stres sendiri: “Anjir, kok beloknya tadi kelewat?! AAAAAHHH!!”
Tapi kalau malam-malam, tersesat malah jadi bagian dari perjalanan. Kita belok ke jalan yang nggak dikenal, ngelewatin gang kecil yang belum pernah kita lihat, atau tiba-tiba sampai di tempat yang bikin kita mikir, “Lho, ini di mana?”
Dan justru di momen-momen kayak gini, kita sadar bahwa nggak semua hal dalam hidup harus direncanakan dengan sempurna. Kadang, tersesat adalah bagian dari menemukan sesuatu yang baru.
Mungkin, kita bakal nemu warung kopi yang nggak pernah kita tahu sebelumnya. Mungkin kita bakal ketemu penjual roti bakar yang enaknya di luar dugaan. Atau mungkin, kita bakal nemu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang udah lama muter di kepala.
Karena sejatinya, hidup juga gitu: kita nggak selalu tahu ke mana arahnya, tapi selama kita terus jalan, kita bakal nemu sesuatu di sepanjang perjalanan.
Gas Terus, Sampai Ketemu Lagi
Naik motor malam-malam nggak akan bisa menyelesaikan semua masalah hidup. Tapi setidaknya, dia bisa bikin kita sadar kalau kita masih punya kendali atas sesuatu.
Kita masih bisa muterin gas, milih jalan mana yang mau diambil, dan nentuin kapan harus berhenti.
Karena dalam hidup, nggak semua hal bisa kita atur. Kadang, kita cuma bisa ngejalanin, menikmati angin malam, dan percaya kalau di ujung perjalanan nanti, kita bakal nemuin sesuatu yang berharga—meskipun itu cuma ketenangan sesaat di atas jok motor yang mulai keras karena busanya udah tipis.
Jadi, kalau besok-besok dunia mulai terasa terlalu ruwet, jangan buru-buru nyerah. Pakai jaket, nyalain mesin, dan gas pelan-pelan. Kadang, kewarasan itu nggak ditemukan di ujung perjalanan, tapi di setiap kilometer yang kita lewati.
Karena hidup ini emang ruwet, tapi siapa tahu, di atas jok motor, kita bisa menemukan sedikit ketenangan di tengah kegilaan dunia ini.