Anak Muda Cangkruk Opini

Marhaban Ya Revolusi: Ramadan, Jalan Sunyi Perubahan

Ramadan datang, dan seperti biasa, dunia mendadak lebih religius. Warung pecel lele yang biasanya buka 24 jam sekarang pasang tirai setengah hati. Stasiun TV mengganti acara hantu dengan sinetron ustaz instan. Grup WhatsApp keluarga mulai banjir stiker “Mohon Maaf Lahir dan Batin” yang dikirim ulang tanpa rasa bersalah.

Tapi aku ingin melihat Ramadan dari perspektif lain. Ramadan bukan sekadar bulan puasa, tapi bulan latihan. Bulan di mana manusia diuji kesabarannya, ditantang menahan diri, dan dipaksa untuk berdisiplin.

Kalau begitu, Ramadan ini bukan sekadar bulan suci. Ramadan ini adalah jalan revolusi.

Puasa: Disiplin Seorang Revolusioner

Revolusi tanpa disiplin adalah kegagalan yang ditunda. Begitu juga puasa. Ini bukan soal menahan lapar dan dahaga semata, tapi soal pengendalian diri. Kalau nggak bisa menahan diri dari gorengan sebelum adzan Maghrib, bagaimana bisa menahan diri dari godaan kekuasaan?

Puasa mengajarkan kita tentang ketahanan. Tentang bagaimana menahan sakit demi kemenangan yang lebih besar. Tentang bagaimana perut kosong bukan alasan untuk menyerah, tetapi justru menjadi alasan untuk berjuang lebih keras.

Seorang revolusioner yang tak bisa menahan nafsu, baik nafsu makan maupun nafsu kekuasaan, tak akan pernah sampai ke garis akhir. Ramadan melatih kita untuk menjadi lebih dari sekadar pejuang berapi-api—kita harus jadi pejuang yang kuat, tahan uji, dan tak mudah goyah oleh godaan kecil.

Ngabuburit: Menanti Momentum, Menyiapkan Gerakan

Ngabuburit adalah seni menunggu. Tapi bukan menunggu dalam diam. Seperti revolusi, Ramadan mengajarkan kita bahwa waktu kosong bukan untuk berleha-leha, tetapi untuk bersiap.

Ngabuburit bukan sekadar jalan-jalan atau nonton YouTube sambil menunggu adzan. Ini momen untuk refleksi: Apa yang sudah kita lakukan selama ini? Apa yang perlu kita ubah? Bagaimana strategi kita agar tidak sekadar bertahan, tetapi juga menang?

Revolusi tidak terjadi dalam semalam. Seperti ngabuburit yang berakhir dengan bedug Maghrib, perjuangan butuh waktu dan kesabaran. Tapi yang menunggu tanpa persiapan akan tertinggal. Ramadan mengajarkan kita: menunggu bukan berarti pasif.

Berbuka: Kemenangan yang Sejati

Berbuka adalah hadiah bagi mereka yang bertahan. Seteguk air, sepotong kurma, dan nasi hangat terasa begitu luar biasa setelah seharian menahan diri.

Tapi, ini juga momen untuk mengingat: kemenangan bukan tentang berpesta pora. Kemenangan sejati adalah tentang menjaga keseimbangan. Kalau setelah berbuka kita malah kekenyangan sampai malas tarawih, maka perjuangan seharian jadi sia-sia.

Begitu pula dalam revolusi. Kemenangan sejati bukan ketika kita berhasil menggulingkan sesuatu, tetapi ketika kita bisa mempertahankannya dengan disiplin. Apa gunanya perubahan kalau akhirnya kita terlena dan kembali ke kebiasaan lama?

Ramadan mengajarkan bahwa perjuangan tak berhenti di kemenangan. Justru di situlah ujian sesungguhnya dimulai.

Tarawih: Konsistensi Adalah Kunci

Tarawih di hari pertama, masjid penuh. Hari ketiga, mulai longgar. Minggu kedua, saf makin renggang. Ini cerminan dari banyak hal dalam hidup: awalnya semangat, lama-lama malas.

Revolusi juga begitu. Di awal, semua berapi-api. Semua ingin turun ke jalan, semua ingin bergerak. Tapi begitu jalan panjang, tantangan makin berat, banyak yang mulai mundur.

Ramadan mengajarkan bahwa perjuangan butuh konsistensi. Jangan hanya semangat di awal, lalu redup di tengah jalan. Revolusi yang berhasil bukan yang paling cepat dimulai, tetapi yang paling lama bertahan.

Lailatul Qadar: Menangkap Peluang Perubahan

Ada satu malam di bulan Ramadan yang lebih baik dari seribu bulan. Lailatul Qadar. Momen di mana langit terbuka, doa dikabulkan, dan takdir bisa diubah.

Dalam perjuangan sosial, ada juga momen-momen emas. Kesempatan untuk mengubah keadaan. Tapi seperti Lailatul Qadar, momen itu tak selalu terlihat jelas. Hanya mereka yang tetap terjaga, tetap berjuang, dan tetap mencari yang akan menemukannya.

Ramadan mengajarkan bahwa perubahan besar datang kepada mereka yang siap. Kesempatan selalu ada, tapi hanya bagi yang tak pernah menyerah.

Lebaran: Revolusi yang Sejati Adalah yang Mengubah Diri Sendiri

Di ujung Ramadan, kita sampai pada Idulfitri. Hari kemenangan. Tapi kemenangan sejati bukan sekadar berhasil puasa sebulan penuh.

Kemenangan sejati adalah ketika kita keluar dari Ramadan sebagai pribadi yang berbeda. Yang lebih disiplin. Yang lebih sabar. Yang lebih sadar bahwa perjuangan bukan hanya di jalanan, tetapi juga di dalam diri sendiri.

Karena revolusi terbesar bukan menggulingkan orang lain. Revolusi terbesar adalah menggulingkan kebiasaan buruk kita sendiri.

Marhaban ya Ramadan.
Marhaban ya Revolusi.

Mari berjuang.

Janu Wisnanto

Janu Wisnanto

About Author

Penulis partikelir pojokan Sleman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Jangan ketinggalan Update dari kami

    Kami akan mengirimkan anda update terbaru dari Layanglayang Merah.

    LLM @2024. All Rights Reserved. | Developed with love ISW