Anak Muda Cangkruk Opini

Mandi di Hari Minggu: Sebuah Perjuangan Eksistensial

Hari Minggu adalah hari suci. Bukan dalam arti religius, tapi dalam arti kemalasan yang hakiki. Ini adalah hari di mana waktu melambat, tugas-tugas duniawi bisa ditunda, dan manusia punya hak asasi untuk berleha-leha tanpa rasa bersalah. Tetapi, ada satu entitas yang selalu mengganggu kedamaian Minggu pagi: mandi.

Aku dan mandi adalah dua kutub yang bertolak belakang, terutama di hari Minggu. Di hari lain, mungkin aku bisa kompromi, tapi di Minggu? Ah, itu perdebatan eksistensial.

Babak Pertama: Perdebatan Nurani

Jam menunjukkan pukul 08.00 pagi. Aku terbangun, bukan karena niat, tapi karena punggungku protes akibat posisi tidur yang terlalu nyeleneh. Sambil memandang langit-langit kamar, aku mulai berdebat dengan diri sendiri.

Nurani: “Ayo, mandi! Seger, wangi, siap menghadapi dunia!”
Aku: “Dunia nggak menunggu aku, kenapa aku harus siap?”
Nurani: “Kalau nggak mandi, badan lengket, nggak enak!”
Aku: “Di Minggu pagi, ketidaknyamanan adalah konsep relatif.”

Di pojok kamar, handuk menatapku dengan penuh harapan. Di pojok lain, kasur menggodaku dengan kenyamanannya. Aku bimbang.

Babak Kedua: Negosiasi dan Pembenaran

Dalam hidup, ada momen-momen di mana manusia terjebak dalam jurang keputusan, dan salah satu yang paling sulit adalah mandi di hari Minggu sebelum dzuhur.

“Kalau nggak keluar rumah, ngapain mandi?” pikirku. Bukankah ini logis? Kalau tidak ada interaksi sosial, tidak ada kewajiban untuk berbau wangi. Lagi pula, kalau hanya tiduran di kamar, siapa yang akan tahu?

Tapi, di sisi lain, aku juga sadar bahwa ini adalah kebiasaan berbahaya. Hari ini tidak mandi karena alasan “nggak keluar rumah,” besok bisa berkembang menjadi “nggak perlu mandi kalau cuma ke warung,” lalu tiba-tiba aku jadi legenda urban di kampung karena selalu ada di sekitar tapi tak pernah meninggalkan jejak aroma yang baik.

Demi menghindari masa depan yang suram, aku mencoba tawar-menawar:

“Mandi setengah badan aja?” (Gagal, karena ini cuma eufemisme untuk cuci muka)

“Nanti kalau siang?” (Terlalu banyak kemungkinan batal)

“Sore aja sekalian?” (Cenderung tidak terjadi)

Babak Ketiga: Perlawanan Semesta

Saat aku hampir menang dengan argumen “tidak mandi juga tidak merugikan siapa-siapa,” tiba-tiba semesta melawan.

Ibuku lewat depan kamar, melontarkan kalimat sakral, “Lho, belum mandi?!”

Hancur sudah pertahananku. Tidak ada lagi ruang debat. Ini bukan pertanyaan, ini vonis.

Di titik ini, aku sadar bahwa mandi di hari Minggu bukan lagi sekadar aktivitas, tapi ujian mental. Ini bukan hanya tentang kebersihan, tapi juga tentang harga diri, tentang menunjukkan kepada dunia bahwa aku adalah manusia yang masih memiliki prinsip hidup.

Babak Terakhir: Menerima Takdir

Akhirnya, dengan langkah gontai, aku menyeret tubuh ke kamar mandi. Saat air menyentuh kulit, aku sadar satu hal: ini enak juga sih. Segarnya air mengalir membilas malas-malasku. Seperti filsuf yang mendapat pencerahan, aku menyadari bahwa mungkin, hanya mungkin, mandi di hari Minggu tidak seburuk yang kukira.

Namun, aku tahu pertempuran ini belum berakhir. Minggu depan, aku akan menghadapi dilema yang sama. Tapi untuk saat ini, aku berdiri dengan bangga, wangi, dan siap kembali ke kasur—karena, mari jujur, mandi di hari Minggu bukan tentang produktivitas. Itu hanya tentang menang melawan diri sendiri.

Dan aku menang… untuk hari ini.

Janu Wisnanto

Janu Wisnanto

About Author

Penulis partikelir pojokan Sleman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Jangan ketinggalan Update dari kami

    Kami akan mengirimkan anda update terbaru dari Layanglayang Merah.

    LLM @2024. All Rights Reserved. | Developed with love ISW