Kawan-kawan sekalian, pernah nggak sih kalian debat sama orang yang keras kepala banget, tapi isi kepalanya kosong melompong? Kayak mau nangis tapi ketawa, mau marah tapi kasihan.
Misalnya, kamu coba jelasin bahwa bumi itu bulat, eh dia malah bilang, “Bro, kalau bumi bulat, kenapa pas aku lompat nggak muter?”
Atau kamu kasih artikel panjang soal perubahan iklim, eh dia bales, “Udah, santai aja. Tuhan kan Maha Kuasa.”
Atau yang lebih parah, kamu ngomongin sejarah, dia malah bales, “Ngapain belajar masa lalu? Kita kan hidup di masa depan!”
Inilah salah satu akibat literasi rendah yang makin mengakar di negeri ini. Kita bukan cuma malas membaca, tapi juga malas berpikir. Akhirnya, kita jadi generasi yang punya pendapat tentang segalanya, tapi nggak punya dasar apa-apa.
Selamat datang di era di mana semua orang merasa pintar, meskipun bacaan terpanjangnya cuma komentar Instagram.
Kenapa Literasi Kita Setara dengan Kentang?
Oke, mari kita selidiki kenapa kita bisa sampai di titik ini.
1. Kita Gampang Puas dengan Bacaan Receh
Dulu, kalau kita mau belajar sesuatu, kita harus baca buku setebal bantal, mencatat, dan diskusi. Sekarang? Kita cukup buka TikTok dan nonton reels satu menit yang bilang, “Ini dia 3 cara jadi miliarder dalam semalam!”
Hasilnya? Kita merasa tercerahkan, padahal kita cuma kena hipnotis motivasi instan.
Orang dulu belajar filsafat dengan membaca Nietzsche, Marx, atau Foucault. Sekarang? Kita cukup baca quotes Pinterest, lalu merasa sudah bisa berdiskusi tentang makna kehidupan.
2. Kita Lebih Percaya yang Ramai daripada yang Benar
Coba pikir, kenapa orang lebih percaya omongan influencer daripada ilmuwan?
Karena ilmuwan ngomongnya pakai data dan penjelasan panjang, sedangkan influencer cukup bilang, “Gue udah coba sendiri, sumpah ini works banget, guys!”
Akhirnya, kita lebih suka dengerin orang yang omongannya enak di telinga daripada yang logis dan berbasis fakta.
Dokter bilang: “Vaksin itu penting karena sudah melalui penelitian bertahun-tahun.”
Influencer bilang: “Gue nggak vaksin dan sehat-sehat aja tuh!”
Lalu kita pilih percaya yang mana? Jelas yang kedua, karena lebih simpel dan nggak bikin mikir.
3. Kita Bangga dengan Kebodohan Kolektif
Ada satu fenomena menarik di masyarakat kita: orang yang bodoh itu sering lebih percaya diri daripada orang yang pintar.
Orang yang benar-benar paham suatu hal biasanya akan bilang, “Saya akan pelajari lebih lanjut.”
Tapi orang yang nggak tahu apa-apa malah langsung ngegas, “Udah, pokoknya gue bener! Jangan lawan gue, woy!”
Ini disebut Efek Dunning-Kruger—di mana orang yang kurang kompeten justru merasa dirinya paling pintar. Makanya, di media sosial banyak banget orang yang hobinya berdebat, padahal referensinya cuma dari grup WhatsApp keluarga.
4. Kita Suka Debat, Tapi Malas Riset
Coba perhatikan tren media sosial. Orang-orang berlomba-lomba menang debat, bukan mencari kebenaran.
Misalnya, kalau ada berita politik, kita nggak peduli isi beritanya. Yang penting, kita harus cari cara biar argumen kita menang.
Makanya, kalau debat, bukannya cari data atau bukti, kita malah pakai teknik klasik:
✅ Ngeles ke mana-mana
✅ Serang personal lawan debat
✅ Balik nanya, “Ya terus solusinya apa?”
✅ Bilang, “Yaudah, kalau nggak suka, pindah negara aja.”
Akhirnya? Bukannya dapat ilmu, kita malah jadi generasi yang gampang tersinggung dan ogah dikasih fakta.
Dampak Otak yang Tidak Dilatih Membaca
Kalau otot nggak pernah dilatih, dia bakal lemah dan kendor. Begitu juga dengan otak. Kalau kita nggak pernah baca buku dan berpikir kritis, akibatnya bisa fatal:
1. Kita Jadi Generasi yang Mudah Ditipu
Kenapa banyak orang ketipu investasi bodong? Karena kita nggak mau riset. Cukup ada yang bilang “Duitmu bisa naik 300% dalam 3 hari”, langsung kita percaya.
Kenapa banyak yang percaya kalau artis Hollywood adalah reptil berkedok manusia? Karena kita lebih suka teori konspirasi yang dramatis daripada kebenaran yang membosankan.
2. Kita Jadi Bangsa yang Susah Maju
Negara-negara maju bisa berkembang karena masyarakatnya punya budaya literasi tinggi. Mereka membaca, berdiskusi, dan mencari solusi.
Sementara kita? Kita masih sibuk debat soal konspirasi bumi datar dan apakah UFO itu kendaraan malaikat.
3. Kita Kehilangan Kemampuan Berpikir Mandiri
Kalau kita nggak biasa membaca dan berpikir kritis, kita akan selalu tergantung pada opini orang lain. Kita nggak bisa membedakan mana fakta dan mana manipulasi.
Makanya, kalau ada influencer bilang “Jangan pakai helm, itu cuma konspirasi pabrikan motor!”, kita malah percaya.
Lalu, Gimana Cara Menyelamatkan Otak Kita?
Kalau kita nggak mau terus-terusan hidup dalam kebodohan kolektif, kita harus mulai berubah.
✅ Baca lebih dari sekadar caption Instagram. Kalau bisa menghabiskan 3 jam buat scroll media sosial, pasti bisa sisihkan 20 menit buat baca buku.
✅ Verifikasi informasi sebelum percaya. Jangan asal percaya berita tanpa cek sumbernya. Kalau hoaks terus kita sebar, kita ikut berkontribusi dalam peredaran kebodohan.
✅ Belajar menerima kalau kita nggak selalu benar. Kalau ada orang yang punya argumen lebih kuat, jangan ngeyel. Belajarlah untuk mengubah sudut pandang.
✅ Kurangi percaya omongan influencer. Mereka itu jualan cuan, bukan akademisi.
✅ Jangan cuma debat, tapi belajar. Dunia ini bukan soal menang-kalah debat, tapi soal mencari kebenaran.
Mau Jadi Cerdas atau Tetap Bangga dalam Kebodohan?
Literasi rendah bukan cuma soal malas membaca. Ini soal bagaimana kita membangun pola pikir yang sehat. Kalau kita terus mengabaikan pentingnya literasi, kita akan terus menjadi generasi yang gampang dimanipulasi, mudah dibohongi, dan bangga dengan opini yang kosong.
Jadi sekarang, pilihan ada di tanganmu:
Mau mulai membaca dan berpikir kritis?
Atau tetap puas jadi bagian dari generasi yang lebih peduli gosip artis daripada masa depan bangsanya?