Jiwa Bocah dalam Tubuh Dewasa
Ada satu mitos yang sudah mendarah daging di antara kaum lelaki: usia hanyalah angka. Sementara tubuh makin renta, rambut makin mundur ke belakang, dan lutut makin sering mengeluarkan suara kriyet-kriyet seperti engsel pintu belum dikasih oli, jiwa mereka tetap 17 tahun selamanya.
Tidak percaya? Lihatlah bapak-bapak yang ngeyel masih pakai kaos band metal padahal perutnya sudah membulat seperti galon air mineral. Atau lelaki yang tetap main PlayStation berjam-jam sambil ngeles, “Ini buat hiburan, biar nggak stres kerja.” Padahal stresnya bukan karena kerja, tapi karena kalah mulu lawan bocil di game online.
Atau coba tengok yang sudah menikah dan punya anak. Saat main mobil-mobilan dengan si kecil, sering kali justru sang ayah yang lebih serius dibanding anaknya. “Dek, kamu salah parkir! Ini tempatnya truk, bukan sedan!” Lalu dengan penuh wibawa, ia membenarkan posisi mainan tersebut, seolah-olah kalau salah parkir bakal diderek Dishub mainan.
Ketika Bocah Terperangkap dalam Tubuh Dewasa
Sebagian besar lelaki sebenarnya tidak benar-benar tumbuh dewasa. Mereka hanya belajar pura-pura dewasa di saat yang diperlukan. Misalnya, ketika harus bayar listrik, pajak, atau cicilan motor. Selebihnya, mereka tetaplah bocah yang terperangkap dalam tubuh yang kian rapuh.
Coba lihat di jalan raya. Ada bapak-bapak yang naik motor, nggak pakai helm, tapi pakai jaket kebalik. Bukan karena gaya, tapi karena buru-buru. Atau yang hobi mainan knalpot brong biar suaranya nyaring, padahal kalau ditegur polisi, tiba-tiba nada bicaranya langsung sopan, “Siap, Pak! Nggak lagi-lagi, Pak!”
Lalu ada juga lelaki yang tetap menganggap dirinya ‘anak muda’ meskipun sudah susah jongkok lama-lama tanpa kesemutan. Dia masih hobi nongkrong sampai dini hari, minum kopi, ngobrol soal dunia, politik, dan filosofi, tapi besok paginya tersiksa karena asam lambung naik.
“Ah, yang penting jiwa tetap muda!” katanya, sambil mengoleskan minyak angin di leher.
Perbedaan Lelaki dan Perempuan dalam Hal Menua
Uniknya, perempuan tampaknya lebih bisa menerima konsep penuaan dibanding lelaki. Mereka bisa dengan anggun merayakan ulang tahun, memakai skincare anti-aging, dan berdamai dengan kenyataan bahwa umur bertambah.
Sementara itu, lelaki cenderung denial. Mereka terus merasa masih muda, masih kuat, dan masih bisa begadang semalaman—padahal besoknya tepar dengan badan remuk seperti habis dihajar masa lalu.
Ada pula yang mulai sadar kalau tubuhnya tidak setangguh dulu. Tapi tetap ngeles, “Dulu aku lari bisa kuat 10 km, sekarang 2 km aja udah ngos-ngosan… tapi kan yang penting niatnya!” Masalahnya, niat doang nggak bikin otot jantung paham kalau harus lebih kencang bekerja.
Dan kalau sudah masuk usia 30-an, perdebatan bukan lagi soal musik atau film favorit, melainkan soal kesehatan.
“Kolesterolmu berapa, Bro?”
“130. Aman sih, tapi asam uratku naik.”
“Wah, aku sebaliknya. Asam urat aman, tapi tensi naik.”
“Udah coba minum rebusan daun kelor?”
“Iya, tapi nggak ngaruh. Mending jahe merah dicampur madu.”
Begitulah. Dulu diskusi mereka tentang sepak bola atau game. Sekarang, topiknya beralih ke menu rebusan dan herbal penyelamat.
Pada Akhirnya, Kita Semua Tetap Bocah yang Tersesat di Dunia Orang Dewasa
Tapi, di balik semua itu, mungkin ada alasan kenapa lelaki enggan merasa tua. Karena bagi mereka, tumbuh dewasa itu melelahkan. Ada tanggung jawab yang semakin berat, ada masalah yang semakin rumit, dan ada kenyataan bahwa mereka tidak bisa selamanya bebas seperti dulu.
Maka, satu-satunya cara untuk tetap waras adalah dengan menjaga sisi bocah dalam diri mereka. Kadang dengan bercanda nggak jelas, kadang dengan main layangan di sore hari, atau sekadar tertawa terbahak-bahak menonton video kucing kaget di internet.
Jadi, kalau kamu melihat seorang lelaki dewasa yang masih tertawa seperti anak kecil, biarkanlah. Itu bukan tanda dia tidak dewasa. Itu tanda bahwa ia sedang berusaha bertahan hidup di dunia yang keras, dengan caranya sendiri.
Karena pada akhirnya, lelaki memang tidak pernah benar-benar tua. Mereka hanya berubah—dari anak kecil yang suka lari-lari di gang menjadi bapak-bapak yang meringis saat bangun tidur karena salah bantal.