Anak Muda Cangkruk Opini

Lebih Baik Menunggu daripada Ditunggu: Renungan Etika Komunal dalam Dunia yang Tak Sabar

Ada satu prinsip yang diam-diam dijalankan oleh orang-orang beradab di kampung, sebuah aturan tidak tertulis yang diwariskan dari generasi ke generasi: lebih baik menunggu daripada ditunggu.

Kelihatannya sepele, tapi kalau kita telaah lebih dalam, prinsip ini bukan cuma soal ketepatan waktu, melainkan soal etika komunal, sopan santun, dan—yang lebih penting—cara kita menjalani hidup tanpa menambah beban sosial bagi orang lain.

Dalam dunia modern yang semakin terburu-buru, di mana orang-orang berkompetisi untuk menjadi tercepat—baik dalam antrean bakso maupun dalam menghilang setelah chatting intens—kemampuan menunggu dengan sabar semakin langka. Orang-orang ingin cepat sampai, cepat sukses, cepat viral, tapi anehnya, kalau soal datang tepat waktu, malah banyak yang santai.

Nah, mari kita kupas tuntas kenapa lebih baik menunggu daripada ditunggu dalam berbagai aspek kehidupan.

Menunggu Itu Bentuk Kesopanan yang Beradab

Dalam tatanan sosial yang sehat, orang yang datang duluan adalah orang yang menghargai waktu orang lain. Datang lebih awal bukan cuma menunjukkan ketepatan waktu, tapi juga rasa hormat.

Coba bayangkan situasi ini: kamu janjian ngopi jam 7 malam. Kamu sudah siap dari jam 6, berangkat lebih awal, dan sampai di kafe sebelum waktu yang dijanjikan. Sementara itu, temanmu baru berangkat dari rumah jam 7 lewat, dengan alasan “Santai aja, baru mulai jam 7, kan?”

Akhirnya, kamu sudah duduk sendirian selama 30 menit, menahan diri untuk tidak pesan duluan karena takut dikira nggak setia kawan. Kamu melihat orang-orang di meja sebelah asik ngobrol, sementara kamu cuma bisa mengaduk-aduk es teh tawar sambil menatap jendela, berharap temanmu datang dengan penyesalan di wajahnya.

Tapi tidak. Begitu dia muncul, dia malah berkata santai, “Sori ya, tadi kejebak scrolling TikTok.”

Di momen itulah kamu sadar, kamu baru saja menunggu seseorang yang tidak layak untuk ditunggu.

Menunggu adalah bentuk kesopanan yang menunjukkan bahwa kamu tidak ingin menyusahkan orang lain. Sebaliknya, membuat orang lain menunggu adalah tanda bahwa kamu kurang peduli terhadap kepentingan bersama.

Ditunggu Itu Artinya Kamu Menebar Beban Moral

Sebaliknya, orang yang selalu ditunggu adalah orang yang secara tidak sadar sedang membebani orang lain. Ditunggu itu bukan cuma soal keterlambatan, tapi juga soal melemparkan tanggung jawab sosial ke orang lain.

Contoh paling klasik: kamu janjian makan bakso jam 6 sore, tapi temanmu baru datang setengah 7. Kamu sudah mencium aroma kuah sedap sejak tadi, tapi nggak berani pesan duluan karena takut dia tersinggung. Begitu dia datang, dia malah bilang, “Ya ampun, udah pengen makan aja. Aku kan belum datang.”

Seakan-akan kehadirannya adalah anugerah yang wajib ditunggu, padahal yang ditunggu bukan presiden, bukan pejabat tinggi, bahkan bukan ketua RT.

Lebih parah lagi kalau keterlambatan itu terjadi dalam situasi penting, misalnya rapat kerja, diskusi kelompok, atau bahkan acara keluarga. Selalu ada satu orang yang datang terlambat dengan alasan klasik “Tadi jalanan macet”, seakan-akan orang lain naik pesawat jet sementara dia satu-satunya yang menghadapi kemacetan di dunia ini.

Orang yang sering ditunggu biasanya punya keyakinan keliru bahwa dunia berputar mengikuti ritme hidupnya. Mereka lupa bahwa waktu adalah sumber daya yang terbatas dan bahwa setiap menit yang terbuang menunggu mereka adalah menit yang bisa dipakai untuk melakukan sesuatu yang lebih produktif.

Menunggu Itu Cerminan Kedewasaan, Ditunggu Itu Cerminan Rasa Tidak Tahu Diri

Ada satu pola yang menarik: orang yang selalu menunggu cenderung lebih bertanggung jawab, lebih terorganisir, dan lebih dewasa. Sebaliknya, orang yang selalu ditunggu sering kali punya masalah dengan manajemen waktu, kurang empati, dan… yah, kadang-kadang memang egois.

Mari kita tarik ini ke dunia kerja. Bayangkan ada dua tipe orang:

Orang pertama datang 10 menit lebih awal ke meeting, sudah siap dengan dokumen, laptop terbuka, dan otaknya sudah on.

Orang kedua datang telat 15 menit, masih ngos-ngosan, lalu berkata, “Bentar ya, aku nyari file dulu.”

Yang satu terlihat profesional. Yang satu terlihat seperti orang yang butuh banyak bimbingan hidup.

Dalam skala kecil, kebiasaan ditunggu ini mungkin cuma bikin kesal. Tapi dalam skala besar, ini bisa berdampak buruk: dari proyek yang molor, kerjaan yang terbengkalai, sampai hubungan pertemanan yang renggang karena satu orang tidak bisa mengatur waktunya sendiri.

Etika Komunal: Ketika Menunggu Jadi Perekat Sosial

Di kampung, ada budaya yang cukup ketat soal menunggu. Misalnya, kalau ada acara makan-makan, orang-orang tidak akan mulai makan sebelum semua orang berkumpul. Ini bukan karena mereka senang kelaparan bersama, tapi karena ada etika komunal yang mengatakan bahwa kebersamaan lebih penting daripada sekadar kenyang.

Di pengajian, di acara hajatan, atau bahkan dalam kegiatan gotong royong, datang lebih awal bukan cuma soal ketepatan waktu, tapi juga bentuk kontribusi. Orang yang datang lebih dulu bisa bantu-bantu, bisa ngobrol dulu, bisa memastikan semuanya berjalan lancar.

Sebaliknya, orang yang datang terlambat akan dianggap sebagai beban—minimal beban mental bagi mereka yang sudah datang duluan.

Jadi, menunggu itu bukan sekadar tindakan, melainkan bentuk solidaritas sosial.

Jadilah Orang yang Layak Ditunggu, Bukan Orang yang Selalu Ditunggu

Di dunia yang semakin individualistis, kita sering lupa bahwa waktu bukan cuma soal diri sendiri. Waktu juga berkaitan dengan orang lain.

Lebih baik menunggu daripada ditunggu, karena pada akhirnya:

Orang yang menunggu akan dianggap bertanggung jawab,

Orang yang ditunggu akan dianggap merepotkan,

Dan kalau kamu terlalu sering membuat orang menunggu, jangan heran kalau suatu saat mereka berhenti menunggumu sama sekali.

Jadi, mulai sekarang, mari kita jadi orang yang menghargai waktu orang lain. Jangan sampai kita jadi tipe orang yang kalau janjian jam 7, baru mandi jam 7. Jangan sampai kita jadi penyebab orang lain harus menatap kosong ke arah jalan, berharap kita segera datang.

Kalau tidak bisa datang lebih awal, setidaknya, jangan jadi orang yang datang terakhir dan masih punya nyali untuk bilang, “Eh, kok udah mulai sih?”

Janu Wisnanto

Janu Wisnanto

About Author

Penulis partikelir pojokan Sleman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Jangan ketinggalan Update dari kami

    Kami akan mengirimkan anda update terbaru dari Layanglayang Merah.

    LLM @2024. All Rights Reserved. | Developed with love ISW