Tulisan ini saya dedikasikan untuk seluruh lelaki di dunia yang sedang merasa tertekan, eneg, dan jengah dengan kehidupan. Peluk hangat untuk setiap lelaki yang berjuang, berkorban, dan berdarah-darah untuk keluarga dan masa depan.
Tren “Lelaki Tidak Bercerita” baru-baru ini sangat mengganggu pikiran saya. Bagaimana tidak, ketika saya berpindah dari medsos satu ke medsos lain, selalu dihiasi dengan konten “Lelaki Tidak Bercerita, Tetapi…” lama-lama saya akhirnya terbawa arus untuk melihat konten tersebut menjadi lebih lama. Tren ini terkenal ringan dan mungkin menghibur, apalagi banyak yang membuat konten dengan isi hatinya, misal “lelaki tidak bercerita tetapi duduk bengong di depan ind*maret” atau “lelaki tidak bercerita tetapi pikirannya berubah jadi uban” dan lain sebagainya.
Setelah saya berbincang dengan beberapa teman dan melakukan penelitian ala kadarnya, menemukan fakta bahwa tren “Lelaki Tidak Bercerita” ini adalah sebuah bentuk toxic masculinity. Dalam budaya patriarki, sosok lelaki ditempatkan sebagai sosok yang harus aktif, kuat, tegar, dan tidak terlihat lemah. Budaya ini seringkali memberikan tekanan yang dalam untuk lelaki sehingga lelaki harus menekan emosinya meski luka hatinya amat sangat dalam.
Keadaan hati yang sedang tidak baik-baik saja mungkin tidak hanya dialami oleh perempuan namun, lelaki juga berhak merasakan keadaan dan situasi emosional yang berat. Terkadang, lelaki menyembunyikan perasaannya dengan diam. Namun, yang menjadi pertanyaan apakah selama ini ‘diam’ adalah sebuah kekuatan? Bagi kebanyakan orang, pandangan bahwa lelaki bercerita malah mengurangi kelelakiannya, padahal bukan seperti itu. Lelaki bercerita untuk mengurangi bebannya, bukan kelelakiannya.
Dalam beberapa kasus, bercerita dan berbagi beban malah mempererat suatu ikatan dalam komunitas maupun keluarga. Lelaki bercerita juga bukan untuk menunjukkan bahwa dirinya lemah, namun menunjukkan bahwa dirinya juga manusia yang tidak mampu menahan beban sendirian. Saya menyadari bahwa berbagi masalah tidak selalu menjadi solusi. Terkadang, mengungkapkan perasaan justru dapat memperumit situasi. Misalnya, seorang laki-laki yang ragu untuk menikah mungkin enggan menyampaikan keraguannya pada pasangan karena takut akan reaksi negatif. Risiko kegagalan dalam hubungan ini sangat tinggi. Meskipun demikian, saya juga memahami bahwa dengan tidak berkomunikasi, masalah tersebut dapat terus membesar dan sulit diatasi.
Adalah hal yang wajar jika sulit bagi laki-laki untuk menemukan teman curhat yang dapat diandalkan. Sayangnya, sifat dasar manusia yang tidak selalu altruistik dan cenderung egois membuat kita seringkali merasa kesepian dan tidak dipahami. Padahal, laki-laki menjadi yang paling heboh ketika bercerita.
Wahai kalian kaum laki-laki, semua orang butuh dukungan. Obrolan singkat bisa jadi obat mujarab buat masalah berat. Kalau kalian lebih suka diam, terserah. Tapi saya pribadi merasa lebih baik kalau kita saling terbuka. Hidup udah cukup berat, jangan ditambah lagi dengan hal-hal yang nggak penting. Yuk, kita cari hal-hal positif yang bisa bikin kita lebih semangat.