Aku pernah bergabung dengan komunitas yang awalnya penuh semangat, penuh ide, penuh janji-janji manis tentang perubahan. Grup WhatsApp-nya aktif, pertemuannya penuh tawa, wacananya penuh revolusi. Tapi sekarang, komunitas ini sudah di ambang bubar. Orang-orangnya banyak yang cabut, yang tersisa pun mulai kayak hantu—ada tapi ga keliatan, online tapi silent reader, hidup tapi mati rasa.
Awalnya aku mikir, “Ah, mungkin cuma fase. Ntar juga ramai lagi kalau ada program kerja baru.” Tapi ternyata tidak. Sebuah komunitas bisa mati bukan karena kurang program, tapi karena orang-orang di dalamnya merasa tidak dihargai, tidak dirawat, dan perlahan kehilangan alasan untuk tetap tinggal.
Komunitas Itu Bukan Startup, Ga Cuma Soal Proyekan
Banyak komunitas yang, entah sadar atau tidak, menganggap anggotanya seperti pekerja lepas. Selama bisa ngejalanin proyek, selama bisa nyumbang tenaga dan pikiran, dia dianggap bagian dari komunitas. Tapi begitu dia lelah, sibuk, atau ga bisa kasih kontribusi langsung, tiba-tiba jadi kayak bayangan di grup—ga ditanya, ga dicariin, ga dianggep ada.
Padahal, komunitas itu bukan startup. Kita bukan sekadar kumpulan orang yang gabung buat ngerjain proyek lalu bubar pas proyek selesai. Komunitas harusnya jadi ruang tumbuh, tempat orang bisa ketemu, berbagi cerita, saling menguatkan, dan merasa punya keluarga kedua. Kalau cuma soal proyek, mending daftar freelancer di Upwork sekalian.
Orang Bukan Robot, Mereka Juga Butuh Dihargai
Aku pernah ngobrol sama salah satu anggota lama yang udah jarang muncul. Dia cerita kalau dulu semangat banget, rajin datang ke pertemuan, rajin ngerjain tugas. Tapi lama-lama dia merasa kayak mesin kerja. “Kita capek-capek mikirin program, tapi setelah itu ya udah, kayak ga ada yang peduli sama kita sebagai orang,” katanya.
Nah, ini yang sering luput. Kita sibuk ngurusin program, lupa ngurusin perasaan orang-orang yang ada di dalamnya. Mereka bukan robot yang bisa terus bekerja tanpa diurus. Kalau mereka ga merasa dihargai, lama-lama mereka akan capek sendiri, mundur pelan-pelan, lalu akhirnya hilang.
Menjadi Tempat Kembali, Bukan Sekadar Tempat Singgah
Komunitas yang sehat itu bukan yang anggotanya dituntut aktif terus, tapi yang bikin orang merasa nyaman untuk tetap kembali, kapan pun itu. Kadang orang pergi bukan karena mereka ga peduli, tapi karena ada hal lain yang harus mereka urus. Ada yang sibuk kerja, ada yang lagi stres, ada yang mungkin cuma butuh jeda. Tapi kalau komunitas cuma menganggap orang yang aktif sebagai yang paling berguna, ya ga heran kalau lama-lama isinya tinggal sisa-sisa.
Bayangin kalau kamu punya rumah, tapi setiap kali pulang malah dicuekin atau ditanya, “Kamu bisa bantu apa?” Lama-lama kamu bakal mikir, “Ngapain juga gue pulang?”
Komunitas harusnya jadi rumah. Bukan sekadar tempat singgah, tapi tempat kembali. Tempat di mana orang merasa dihargai bukan karena kontribusinya, tapi karena mereka bagian dari keluarga ini.
Membuat Ruang Tumbuh, Bukan Sekadar Ruang Kerja
Kalau komunitas cuma berisi orang-orang yang saling menyuruh, lama-lama suasananya kayak kantor tanpa gaji. Orang cuma bakal datang kalau ada kerjaan, terus pergi kalau udah selesai. Tapi kalau komunitas bisa jadi ruang tumbuh—tempat orang bisa belajar, berkembang, dan dapet manfaat di luar proyek—mereka bakal punya alasan buat tetap tinggal.
Gampangnya gini: kalau komunitas cuma kasih beban kerja, orang bakal pergi cari tempat yang lebih ringan. Tapi kalau komunitas kasih pengalaman, ilmu, jaringan, bahkan cuma sekadar tempat ngobrol yang asik, orang bakal betah walau ga ada kerjaan.
Menghargai yang Bertahan, Bukan Hanya yang Datang dan Pergi
Aku sadar satu hal: komunitas ini mungkin ga bakal seramai dulu. Beberapa orang udah pergi, beberapa lagi mungkin ga bakal kembali. Tapi yang tersisa tetap layak dihargai.
Kadang kita terlalu sibuk nyari anggota baru atau mengeluhkan mereka yang udah ga aktif, sampai lupa menghargai mereka yang masih ada. Yang masih bertahan ini harus dijaga, harus dirawat, harus dibuat merasa berharga. Kalau yang tersisa aja ga dijaga, gimana mau ngajak orang baru?
Komunitas yang Bertahan Itu yang Mengerti Manusia
Di akhir hari, komunitas itu bukan soal program kerja, bukan soal seberapa banyak proyek yang bisa dikerjakan, tapi soal seberapa dalam kita merawat manusia yang ada di dalamnya.
Aku masih bertahan di komunitas ini bukan karena proyeknya, tapi karena aku percaya, kalau kita mau berubah dan mulai merawat satu sama lain, kita bisa kembali jadi tempat yang hidup. Tempat di mana orang ga cuma datang untuk kerja, tapi juga untuk merasa dihargai, didengar, dan diberi ruang untuk tumbuh.
Karena pada akhirnya, komunitas yang bertahan itu bukan yang paling produktif, tapi yang paling peduli.