Ada yang tak bisa dibeli dari masa lalu: kenangan. Bagi mereka yang tumbuh besar di era 90-an, kenangan itu sering datang dalam bentuk tanah merah, kaleng bekas, dan tawa yang menggema—tanpa sinyal, tanpa baterai.
Di masa itu, sore adalah waktu yang paling ditunggu. Begitu lonceng pulang sekolah berbunyi, anak-anak langsung berhamburan—melepas seragam, makan secepat mungkin, lalu keluar rumah membawa segenggam ide liar untuk bermain. Tak ada notifikasi, tak ada media sosial. Yang ada hanyalah pekarangan rumah, lapangan kecil, atau jalan desa yang disulap jadi arena petualangan.
Permainan seperti masak-masakan, kelereng, hingga nikah-nikahan bukan sekadar hiburan. Ia adalah bentuk paling jujur dari imajinasi, sosialisasi, dan kebahagiaan. Tanah jadi dapur, daun jadi lauk, dan kaleng susu bekas jadi wajan andalan. Anak-anak duduk melingkar di bawah pohon, menumbuk bunga liar dan mengaduknya dalam air, seolah sedang menyiapkan pesta besar.
Lucunya, permainan seperti nikah-nikahan menyimpan kisah yang tak kalah hangat. Dalam unggahan yang kini viral, seorang pengguna menulis komentar:
“Itu yang dulu main nikah-nikahan sama aku, kita belum cerai loh ya.”
Kalimat sederhana yang mengundang tawa—tapi juga menampar halus sisi hati yang rindu.
Masa kecil anak 90-an hangat bukan hanya karena permainannya, tapi karena interaksi tanpa layar. Tak perlu sinyal untuk saling menyapa, cukup teriakan dari pagar depan rumah: “Main yuk!” dan teman-teman pun datang. Tak peduli pakaian lusuh atau kaki berdebu, yang penting bisa bermain sampai matahari pamit.
Anak-anak zaman sekarang tumbuh di dunia digital. Mereka lebih akrab dengan layar daripada rumput, lebih mengenal karakter game ketimbang tetangga sebelah rumah. Bukan berarti mereka kurang bahagia—hanya saja, bentuknya berbeda.
Nostalgia bukan untuk merendahkan zaman. Ia hadir sebagai pengingat: bahwa bahagia itu sederhana. Anak 90-an bisa tertawa seharian hanya karena berhasil mengelabui teman saat bermain petak umpet. Dari situ, mereka belajar banyak hal: kerja sama, strategi, kreativitas, bahkan cinta-cintaan kecil yang polos dan lucu.
Kini, saat kita menatap layar dan melihat video permainan masa lalu, hati terasa hangat. Seolah kita dibawa kembali ke ruang waktu yang penuh tawa, debu, dan kebebasan. Bukan sekadar mengenang—kita sedang merayakan bagian penting dari hidup.
Untuk kamu yang pernah main masak-masakan pakai daun jambu, atau “menikah” di bawah pohon mangga, kamu tahu persis: masa itu tak akan pernah tergantikan. Mungkin tak bisa diulang, tapi selalu bisa dikenang.
Dan siapa tahu, suatu hari nanti—kita bisa membisikkan cerita itu ke anak-anak kita:
bahwa dulu, bahagia itu cukup dengan sepetak tanah, kaleng kosong, dan segenggam imajinasi.