Mudik. Satu kata yang mengandung banyak emosi. Kata yang bisa bikin orang senang, haru, bahkan stres. Mudik adalah perjalanan pulang yang penuh makna, tradisi, dan kadang drama. Tapi, sayangnya, aku bukan bagian dari euforia itu.
Aku asli Jogja. Keluargaku juga cuma di Jogja. Rumah simbah? Masih di Jogja. Tidak ada saudara jauh, tidak ada kampung halaman yang harus ditempuh belasan jam dengan kereta atau pesawat. Tidak ada tiket mahal, tidak ada momen rebutan kursi di gerbong ekonomi, dan tidak ada cerita heroik tentang menembus kemacetan berjam-jam di jalur Pantura.
Jujur saja, aku iri.
Mudik Itu Keren, Cuy
Lihatlah teman-temanku yang punya privilege bernama “mudik.” Mereka bisa pamer perjuangan pulang kampung dengan berbagai gaya. Ada yang naik motor berboncengan 12 jam, ada yang rela antre tiket kereta dari subuh, bahkan ada yang merasa superior karena naik pesawat, lengkap dengan foto boarding pass di story Instagram.
Dan yang paling keren? Kekasihku. Ia mudik ke Jambi! Bukan sekadar pindah kecamatan seperti aku kalau “mudik.” Dia harus melewati laut atau udara, bukan hanya lampu merah dan perempatan. Ada unsur petualangan, ada perasaan eksotis, dan ada kebanggaan tersendiri saat bisa bilang, “Aku mudik jauh, loh.”
Sementara aku? Pulang ke rumah simbah cuma beda kecamatan. Tidak ada tiket yang harus dipesan, tidak ada koper yang harus di-packing, dan tidak ada perasaan rindu yang terbayar dengan perjalanan panjang. Cukup naik motor 15 menit, selesai.
Dimana asyiknya?
Orang Asli Jogja, Korban Ketidakadilan Mudik
Menjadi orang asli Jogja dengan keluarga yang juga cuma di Jogja adalah nasib yang kurang di-highlight dalam perbincangan nasional. Kami ini kaum minoritas di tengah gegap gempita mudik. Saat orang-orang berbicara tentang pulang kampung, kami hanya bisa mengangguk-angguk sok mengerti.
Orang lain punya kisah dramatis seperti kehabisan tiket, terjebak macet 10 jam di Tol Cipali, atau sampai kampung halaman dengan caption story “Alhamdulilah, aku pulang!” Sementara aku? Paling banter cuma bisa bilang, “Oh, aku tadi ke rumah simbah di Mlati, mampir beli telor gulung sebentar.”
Tidak ada tantangan. Tidak ada sensasi perjuangan.
Ketika Mudik Menjadi Ajang Pembuktian
Mudik bukan sekadar pulang, tapi juga ajang pembuktian. Ketika seseorang tiba di kampung halaman dengan mobil baru, itu adalah statement. Ketika seseorang pulang dengan membawa oleh-oleh dari kota rantau, itu adalah prestasi.
Sementara aku? Tidak bisa merasakan itu. Apa yang mau kupamerkan? Bahwa aku tetap di Jogja dan rumahku masih di sini-sini saja? Tidak ada nilai jualnya.
Kadang aku merasa ada ketimpangan sosial dalam sistem mudik ini. Orang-orang rantau selalu mendapat spotlight saat lebaran. Mereka yang merasakan “kepulangan” mendapat kehormatan lebih. Sedangkan kami, yang selalu ada di sini, hanya jadi latar belakang cerita.
Bahkan, kalau kami tidak hati-hati, bisa saja dianggap kurang berbakti karena tidak perlu bersusah payah untuk pulang. Lha wong rumah simbah cuma 10 menit, mau sok-sokan pakai drama apa?
Haruskah Aku Ikut Mudik Palsu?
Dalam upaya untuk menyesuaikan diri dengan budaya mudik, aku mulai mempertimbangkan opsi ekstrem: mudik palsu.
Caranya sederhana. Aku tinggal pura-pura kerja di luar kota, lalu saat lebaran pulang ke rumah seolah-olah aku juga anak rantau. Aku bisa memesan tiket pesawat Jogja-Jakarta-Jogja supaya terlihat lebih meyakinkan. Lalu, aku akan datang ke rumah dengan ekspresi lelah, menyerahkan oleh-oleh, dan berkata dengan bangga, “Akhirnya bisa pulang.”
Tapi, setelah kupikirkan, itu terlalu berlebihan.
Menerima Nasib dan Menikmati Jogja
Pada akhirnya, aku sadar bahwa meskipun aku tidak bisa merasakan mudik, aku tetap punya sesuatu yang berharga, Jogja.
Tempat di mana orang-orang rindu untuk kembali, tempat di mana banyak orang ingin pulang, adalah tempat di mana aku tinggal setiap hari. Aku tidak perlu tiket, tidak perlu antre, tidak perlu berjuang di perjalanan panjang. Aku sudah berada di destinasi yang dirindukan banyak orang.
Jadi, meskipun aku iri dengan teman-teman yang mudik, aku akan tetap menikmati Jogja. Karena, toh, setelah lebaran usai, mereka akan kembali ke tempat rantau mereka dengan hati berat, sementara aku? Aku tetap di rumah, di kota yang selalu mereka rindukan.
Tapi ya tetap saja, kalau ditanya soal mudik, aku cuma bisa jawab, “Nggak mudik, rumah simbah cuma beda kecamatan.