Anak Muda Cangkruk Ragam

Kenapa Orang Jogja Menyebut Sirup Itu Orson? Sebuah Renungan Filosofis yang Tidak Penting, Tapi Menarik

Di Jogja, kalau kamu ke warung terus bilang, “Bu, beli sirup satu!” kemungkinan besar kamu akan ditatap dengan pandangan curiga. Bukan karena ibumu pemilik warungnya, tapi karena ada kemungkinan besar si ibu warung akan bertanya, “Sirup opo, Nak? Orson, Marjan, opo NutriSari?”

Di titik inilah, kita mulai masuk ke sebuah realitas linguistik yang membingungkan: kenapa di Jogja, orang menyebut sirup itu Orson? Bahkan kalau yang dimaksud sebenarnya Marjan, ABC, atau sirup merek-merek lain yang mungkin hanya muncul saat Lebaran tiba?

Mari kita bahas ini dengan serius. Eh, maksudnya… setengah serius.

Orson: Dari Merek Menjadi Sebuah Konsep

Kalau kita tarik benang merah ke masa lalu, Orson sebenarnya adalah merek sirup yang populer di Jogja pada dekade-dekade lampau.


Entah bagaimana, karena saking seringnya merek ini disebut, akhirnya Orson bukan lagi sekadar nama produk, tapi sudah naik kelas menjadi sebuah konsep umum untuk sirup.

Ini mirip dengan bagaimana kita menyebut Aqua untuk air mineral, meskipun yang kita minum mereknya Cleo atau Le Minerale. Atau bagaimana Odol jadi nama umum untuk pasta gigi, padahal mereknya Pepsodent atau Ciptadent.

Jadi, bisa kita simpulkan bahwa Orson bukan sekadar sirup, tapi sebuah gagasan. Sebuah ide besar. Sebuah filosofi dalam kehidupan orang Jogja.

Kenapa Bisa Begitu? Sebuah Hipotesis yang Tidak Berdasarkan Penelitian

1. Kebiasaan Turun-temurun
Nenek-nenek kita dulu nyebut sirup sebagai Orson. Orang tua kita ikut-ikutan. Kita, sebagai cucu-cucu yang polos dan tak berdosa, akhirnya juga menyebut sirup sebagai Orson tanpa bertanya-tanya.

2. Fenomena “Klebus Identitas”
Orang Jogja suka sekali menyederhanakan sesuatu. Lihat saja kasus penyebutan sepeda motor: semua motor matik disebut Mio, semua motor bebek disebut Supra, dan semua motor sport disebut Tiger—padahal belum tentu mereknya Honda.

3. Malas Berpanjang-panjang
Mari kita jujur, menyebut “sirup Marjan rasa cocopandan” terdengar ribet. Tapi kalau cukup bilang “Orson cocopandan”, hidup rasanya lebih ringan.

Contoh Lain Fenomena Ini di Jogja

Fenomena Orson bukan satu-satunya contoh di mana satu merek menguasai semesta Jogja. Ada beberapa kasus serupa yang juga menarik:

Indomie → Semua mie instan. Mau Mie Sedap, Supermi, atau Gaga 100, tetap aja disebut Indomie.

Honda → Semua sepeda motor. Bahkan kalau kamu naik Yamaha, orang bakal nanya, “Honda-mu tak deleh endi?”

Sanyo → Semua pompa air. Jadi, kalau ke toko bangunan dan nyebut “Pak, saya mau beli Sanyo,” siap-siap ditanya, “Yang Shimizu, Panasonic, atau Sanyo beneran?”

Rokok Gudang Garam → Ini unik, karena beberapa orang tua di kampung kadang menyebut semua rokok kretek sebagai “Gudang Garam,” meskipun yang dimaksud bisa Djarum, Sukun, atau malah LA Bold.

Filosofi di Balik Fenomena Ini

Ada pelajaran hidup yang bisa kita tarik dari kebiasaan unik ini. Orang Jogja (dan mungkin orang Indonesia pada umumnya) suka menyederhanakan dunia yang kompleks. Kita enggan ribet menyebutkan semua merek dan lebih suka pakai istilah yang sudah familiar di kepala.

Fenomena ini mengajarkan bahwa:

1. Kesederhanaan adalah Kunci Kebahagiaan
Mengapa harus menyebut sesuatu dengan detail berlebihan kalau semua orang sudah paham maksudnya? Dengan satu kata, komunikasi jadi lebih cepat, efisien, dan tanpa perdebatan panjang.

2. Kebiasaan Bisa Mengalahkan Kebenaran
Fakta bahwa kita menyebut sirup sebagai Orson meskipun itu Marjan menunjukkan bahwa sebuah kebiasaan bisa lebih kuat dari kenyataan objektif. Kita tahu itu salah, tapi kita tetap melakukannya. Mirip kayak kebiasaan balikan sama mantan meskipun udah tahu bakal nyesek lagi.

3. Bahasa Itu Hidup dan Berubah
Hari ini kita nyebut Orson untuk sirup. Mungkin 30 tahun lagi, anak-cucu kita akan menyebut semua ojek online sebagai “Gojek,” padahal yang mereka pesan Grab atau Maxim.

Sebuah Renungan di Bawah Pohon Jambu

Jadi, kenapa orang Jogja menyebut sirup sebagai Orson?

Jawabannya tidak hanya soal merek yang melekat di ingatan, tetapi juga tentang bagaimana manusia membentuk bahasanya sendiri untuk memudahkan hidup. Kita tidak selalu perlu akurasi maksimal, karena dalam komunikasi, yang penting adalah saling mengerti.

Sekarang, kalau ada yang protes, “Tapi sirup itu ya sirup, bukan Orson!” Kita cukup jawab dengan santai:

“Wis, yang penting ngerti maksudnya.”

Dan begitulah kehidupan di Jogja. Santai, sederhana, tapi penuh filosofi.

Janu Wisnanto

Janu Wisnanto

About Author

Penulis partikelir pojokan Sleman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Jangan ketinggalan Update dari kami

    Kami akan mengirimkan anda update terbaru dari Layanglayang Merah.

    LLM @2024. All Rights Reserved. | Developed with love ISW