Aku yakin, di suatu sudut dunia ini, ada seorang peneliti yang seharusnya mendapatkan Nobel karena berhasil membuktikan bahwa otak manusia tidak bisa bekerja tanpa dua zat suci: kafein dan nikotin. Sayangnya, risetnya mungkin dihentikan karena sponsornya sadar kalau temuan itu bakal mengguncang tatanan hidup sehat yang mereka jual dengan harga mahal.
Kamu pasti tahu sensasi itu—mata sepet, kepala pening, deadline mepet, tapi ide nggak keluar. Lalu, segelas kopi hitam pekat datang seperti nabi yang diutus langsung dari surga, dan tiba-tiba dunia terasa lebih masuk akal. Kata-kata mengalir, otak menciptakan keajaiban, dan mendadak kamu merasa cukup pintar untuk mendaftar jadi penasihat presiden. Lalu, sebatang rokok menyusul, asapnya membentuk teori konspirasi di udara, dan kamu mulai merasa seperti filsuf yang hanya butuh satu cerutu lagi untuk menyamai eksistensi Camus.
Kafein dan nikotin ini bukan sekadar zat; mereka adalah ritual. Sekaligus, mereka adalah paradoks. Kita tahu bahwa kafein bikin jantung berdebar, tapi tanpa dia, hidup kita malah lebih menyeramkan. Kita paham bahwa nikotin memperpendek usia, tapi tanpa dia, rasanya waktu justru melambat dengan cara yang menyebalkan. Kita dibilang harus mengurangi kedua zat ini demi hidup sehat, tapi kalau hidup sehat itu berarti kerjaan nggak selesai dan dompet tetap tipis, apakah itu masih disebut hidup?
Kafein: Sponsornya Para Overthinker
Tidak ada yang lebih menyedihkan selain melihat seorang overthinker tanpa kopi. Mereka seperti ikan tanpa air, kucing tanpa nyawa kesembilan, atau negara tanpa utang—aneh dan tidak realistis. Kopi memberi mereka daya tahan berpikir untuk mempertanyakan hal-hal yang bahkan Tuhan mungkin nggak peduli: Apakah ayam tahu kalau mereka adalah ayam? atau Kalau semut bisa mengangkat beban 50 kali berat tubuhnya, kenapa mereka nggak jadi pahlawan super?
Dan ada satu hal yang selalu terjadi: satu cangkir kopi tidak pernah cukup. Yang minum satu, besok jadi dua. Yang awalnya pakai gula, besok pakai susu. Yang awalnya pakai susu, besok pakai espresso shot tambahan. Sampai akhirnya kita menemukan diri kita duduk di pojokan warung kopi, menatap layar laptop dengan pupil sebesar kelereng, menunggu ilham datang sementara tangan gemetar seperti baru ngegas motor gede tanpa pegangan.
Nikotin: Inspirasi Beracun yang Mengasapi Akal
Rokok, di sisi lain, punya cara unik dalam memberikan ilham. Asapnya menguap pelan, dan tiba-tiba kamu mendapat pencerahan hidup yang tak terduga. Seperti misalnya, Mungkin yang salah bukan aku, tapi dunia ini yang terlalu absurd? Atau, Kalau aku mati besok, apakah hutang kopi di warung bakal lunas secara otomatis?
Ada mitos yang bilang bahwa nikotin membantu fokus. Tapi jangan tertipu, karena efeknya itu seperti pacar manipulatif—dia bikin kamu merasa butuh, padahal yang sebenarnya terjadi adalah kamu cuma kecanduan. Kamu pikir kamu lebih produktif dengan sebatang rokok di tangan, padahal kenyataannya kamu cuma ngelamun lebih estetik.
Tapi mari jujur, bagi sebagian orang, rokok bukan cuma soal kecanduan. Dia adalah simbol perlawanan. Dia adalah alasan seseorang bisa bertahan duduk mendengar ceramah hidup selama dua jam tanpa meledak. Dia adalah komitmen, karena tidak semua orang bisa setia pada sesuatu seburuk ini selama bertahun-tahun.
Kafein dan Nikotin: Duo Dinamis yang Irasional tapi Ngangenin
Yang menarik, orang yang minum kopi sering juga yang merokok. Ini seperti Batman dan Robin, Tom dan Jerry, atau kamu dan mantan yang selalu balikan meskipun sudah tahu ujungnya bakal berantakan. Kopi tanpa rokok itu seperti skripsi tanpa revisi—aneh, tapi lebih sehat.
Dan tentu saja, setelah semua pembelaan yang aku buat di sini, selalu ada seseorang yang akan berkata:
“Tapi kan, kafein dan nikotin nggak baik buat kesehatan?”
Iya, iya, kami tahu. Tapi apakah dunia ini sehat? Apakah cicilan KPR sehat? Apakah kebijakan negara selalu rasional? Kalau kita bisa hidup di dunia yang sempurna, mungkin kita akan berhenti mengandalkan zat-zat ini. Tapi kenyataannya, dunia ini absurd. Jadi, kita butuh sesuatu yang membuat absurditas ini terasa lebih masuk akal.
Kafein dan nikotin bukan soal gaya hidup, mereka adalah mekanisme bertahan. Setidaknya sampai kita menemukan cara yang lebih sehat untuk tetap waras di tengah kekacauan ini.
Jadi, apakah aku menyarankan kamu untuk minum kopi dan merokok? Tidak. Aku hanya mengatakan bahwa kalau suatu hari kamu melihat seseorang menyesap espresso sambil mengisap rokok di sudut warung, jangan buru-buru menghakimi. Bisa jadi dia bukan pecandu. Bisa jadi dia cuma seseorang yang sedang mencari alasan untuk tetap bertahan di dunia yang nggak pernah benar-benar berpihak pada manusia.