Di suatu sore yang mendung, seorang insinyur cuaca lulusan universitas ternama sedang duduk di beranda rumah sambil memantau aplikasi prakiraan cuaca. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa hari ini tidak akan hujan. Ia pun dengan percaya diri menjemur kasur. Sementara itu, di tempat yang sama, seorang Mbah dengan sarung setengah lutut melihat langit, menghirup udara, lalu berkata, “Ora suwe manuk bakal mabur cendhek, udan teko!” (Sebentar lagi burung bakal terbang rendah, hujan datang!).
Tiga puluh menit kemudian, kasur si insinyur basah kuyup, sedangkan Mbah sudah duduk santai sambil ngudud di dalam rumah.
Lha piye iki? Kenapa ilmu titen (ilmu berdasarkan pengalaman dan pengamatan bertahun-tahun) kadang lebih akurat dibandingkan teknologi modern yang njlimet dan berbasis data rumit? Mari kita bahas dengan gaya santai, tapi tetap filosofis!
Ilmu Titen: Analisis Big Data ala Leluhur
Orang Jawa punya kebiasaan mengamati pola alam selama bertahun-tahun, bahkan lintas generasi. Mereka tidak butuh AI, mereka punya Ala lan Iman (Kebiasaan dan Keyakinan).
Contoh sederhana, Mbah-mbah kita tahu kapan musim hujan bakal datang hanya dengan melihat formasi awan, perilaku burung, atau cara semut berjalan. Kalau semut mulai pindah rumah dengan barisan panjang dan tertib seperti demo buruh yang terorganisir, itu tanda hujan gede bakal tiba. Kalau burung walet terbang rendah, berarti tekanan udara turun, pertanda hujan akan segera turun juga.
Orang modern butuh satelit, sensor kelembaban, dan ribuan data cuaca. Mbah-mbah kita? Cukup pakai ilmu titen. Ibarat Google Trends, mereka menyimpan data ribuan tahun di kepala.
Ilmu Titen vs Statistik Modern: Siapa yang Lebih Valid?
Dalam statistik modern, ada yang namanya sampling error dan margin of error. Artinya, seakurat apa pun prediksi, tetap ada kemungkinan meleset. Tapi Mbah tidak pernah menyebutkan margin of error. Kalau Mbah bilang, “Besok ojo lali nyiapke payung, udan teko,” ya sudah, percaya saja.
Seorang analis cuaca bisa bilang, “Kemungkinan hujan 60%.” Nah, ini bikin bingung. Jadi hujan atau nggak? Sementara Mbah kita pakai bahasa yang lebih tegas: “Udan.” Beres.
Ini mirip dengan ilmu ekonomi. Para ekonom sering ribut soal resesi, inflasi, atau siklus ekonomi. Tapi Mbah kita cukup melihat harga beras naik, harga tempe menciut, dan tukang kredit mulai jarang mampir, lalu berkata: “Ati-ati, jaman angel arep teko.” Dan benar, beberapa bulan kemudian krisis ekonomi melanda.
Ilmu Titen dan Kepekaan yang Hilang di Era Modern
Dulu, petani bisa tahu kapan saat yang tepat menanam hanya dengan merasakan suhu tanah dan memperhatikan perilaku serangga. Sekarang, petani bergantung pada kalender tanam digital, yang sering kali malah meleset.
Kenapa bisa begitu? Karena manusia modern terlalu sibuk melihat layar, bukan melihat alam. Kepekaan kita terhadap lingkungan menurun drastis. Kita lebih percaya angka di layar HP daripada tanda-tanda alam yang sudah ada sejak nenek moyang kita.
Ada pepatah Jawa yang bilang, “Sing waskita bakal weruh tandha-tandha.” (Siapa yang peka akan melihat tanda-tanda). Tapi manusia modern kehilangan kewaskitaan itu. Kita menggantinya dengan spreadsheet dan algoritma, padahal tidak semua hal bisa diukur dengan angka.
Jangan Hanya Andalkan Data, Pakailah Rasa
Ilmu titen mengajarkan kita satu hal penting: Gunakan pengalaman dan perasaan dalam menganalisis sesuatu.
Orang modern sering terjebak dalam angka dan grafik. Misalnya, dalam percintaan. Orang modern mungkin membuat daftar plus-minus sebelum memilih pasangan. Tapi Mbah cukup bilang, “Nek atimu ra tentrem karo wong kuwi, wis. Ojo diteruske.” (Kalau hatimu tidak tenang sama dia, sudah. Jangan lanjut.)
Coba bandingkan dengan teori psikologi modern yang penuh istilah ribet seperti attachment theory, love languages, atau compatibility matrix. Intinya tetap sama: kalau rasanya nggak enak, jangan diteruskan. Simpel, kan?
Teknologi Boleh Maju, tapi Ilmu Titen Jangan Ditipu
Jangan salah paham, teknologi itu penting dan berguna. Tapi ilmu titen juga tidak bisa diremehkan. Kombinasi keduanya justru akan menghasilkan keputusan yang lebih bijak.
Ketika teknologi memberi data, gunakan ilmu titen untuk memverifikasinya. Kalau prakiraan cuaca bilang cerah, tapi burung sudah terbang rendah dan semut mulai sibuk angkut barang, lebih baik percaya pada semut.
Karena pada akhirnya, ada satu hal yang tidak bisa diukur dengan algoritma: kearifan dan kebijaksanaan hidup.
Jadi, kalau Mbah bilang, “Ojo mung gumun, ojo mung kagetan.” (Jangan gampang terkagum, jangan gampang terkejut), itu berarti kita harus lebih peka terhadap lingkungan sekitar, tidak hanya percaya pada data, tapi juga menggunakan intuisi dan pengalaman.
Mau jadi orang modern boleh, tapi jangan lupa, titen juga penting. Karena kalau Mbah sudah bilang “bakal udan”, ya jangan nekat jemur kasur!