Malam itu sunyi. Suara jangkrik dan gemerisik angin yang membelai padi menjadi simfoni alam yang menenangkan. Di tengah hamparan sawah yang tertidur dalam gelap, berdiri sebuah surau kecil, tua, namun penuh cerita. Lampu minyak di dalamnya memancarkan cahaya redup, menyelimuti ruangan sederhana itu dengan kehangatan.
Jagad, pemuda berusia dua puluh lima tahun, duduk bersila di lantai surau, bersandar pada dinding kayu yang sudah mulai rapuh. Di depannya, Mbah Karno, lelaki tua berusia lebih dari tujuh puluh tahun, memegang cangkir kopi hitam yang mengepul dan rokok kretek yang menyala di ujung jari. Wajahnya penuh keriput, tapi ada ketenangan yang terpancar dari sorot matanya, seperti danau yang tak terusik angin.
“Jagad, nak,” suara Mbah Karno memecah keheningan. “Apa kau tahu kenapa surau kecil ini selalu membuat orang merasa tenteram?”
Jagad menggeleng pelan, menyeruput kopi dari gelas kaleng di tangannya. Rasa pahit yang menggigit lidah mengingatkannya pada hidup yang tak selalu manis.
“Karena di sini, hidup jadi sederhana,” jawab Mbah Karno sambil tersenyum. “Tidak ada yang perlu kau kejar, kecuali waktu untuk bersyukur.”
Jagad terdiam. Kata-kata itu terdengar sederhana, tapi berat untuk dicerna. Di usianya yang muda, ia merasa dunia adalah tempat untuk berlari, mengejar sesuatu yang sering kali ia sendiri tak tahu pasti apa.
“Mbah,” katanya akhirnya, ragu-ragu, “Kenapa sederhana itu sering terasa sulit? Bukankah hidup ini penuh dengan keinginan?”
Mbah Karno mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu meniupkan asap ke udara. “Keinginan itu seperti asap kretek ini, Jagad. Kau pikir ia memberi kenikmatan, tapi lama-lama menghilang, tidak menyisakan apa-apa. Yang membuat hidup berarti adalah rasa syukur atas apa yang sudah ada.”
Jagad mengangguk perlahan, meski hatinya masih penuh pertanyaan. Angin malam menyelinap masuk melalui celah-celah dinding surau, membawa aroma padi yang sedang menguning.
“Jadi, menurut Mbah, apa arti hidup yang berkualitas?”
Mbah Karno tersenyum, mengulurkan cangkir kopinya ke arah Jagad. “Hidup yang berkualitas itu bukan soal berapa banyak yang kau miliki, tapi seberapa dalam kau memahami apa yang sudah kau punya. Lihat kopi ini, pahit, hitam, tapi setiap teguknya adalah pengingat bahwa kesederhanaan bisa menghadirkan kebahagiaan.”
Jagad memandang cangkir kopi itu, mencoba memahami maksud Mbah Karno. Ia teringat teman-temannya di kota yang hidup mewah, tapi sering mengeluh. Hidup yang selalu tampak penuh, tapi terasa kosong.
“Mbah, apakah Mbah pernah menyesal menjalani hidup sederhana seperti ini?” tanya Jagad akhirnya.
Mbah Karno tertawa kecil, suaranya berat tapi hangat. “Jagad, hidup sederhana itu bukan berarti miskin atau kurang. Hidup sederhana itu memilih apa yang penting, meninggalkan yang tidak perlu. Hidupku penuh dengan doa, kopi, sawah, dan cerita bersama anak muda sepertimu. Apa yang harus kusesali?”
Jagad tersenyum. Kata-kata Mbah Karno terasa seperti angin lembut yang menenangkan hatinya. Ia mulai memahami bahwa kebahagiaan bukan soal memiliki segalanya, tapi tentang bisa merasa cukup.
Mbah Karno kembali menyesap kopinya, memandang ke arah pintu surau yang terbuka lebar. “Jagad, ingatlah ini. Hidup seperti sawah di depan kita. Kau rawat, kau sabar menunggu, dan pada waktunya kau akan memetik hasilnya. Jangan terburu-buru, karena semuanya ada waktunya.”
Jagad mengangguk. Malam itu, di bawah cahaya temaram surau kecil, ia merasa mendapat pelajaran berharga yang tak bisa ia temukan di buku mana pun. Hidup sederhana, ternyata, bukanlah kekurangan, melainkan pilihan untuk menghargai yang ada.
Dan di antara kepulan asap kretek dan harum kopi, dua generasi itu berbagi hikmah. Angin malam yang dingin terasa hangat, seolah ikut menyelimuti percakapan mereka. Surau kecil itu mungkin terlihat tua dan rapuh, tapi di dalamnya, ada kebijaksanaan yang terus hidup, mengalir dari Mbah Karno kepada Jagad, dan mungkin suatu hari, dari Jagad kepada dunia.