Aku selalu percaya bahwa hidup adalah tentang pilihan. Tapi bagaimana jika pilihan itu datang dalam bentuk dilema yang tak kunjung menemukan jawaban? Bagaimana jika pilihan itu bukan sekadar memilih antara baik dan buruk, tetapi memilih jalan perjuangan yang sama-sama berisiko, sama-sama berdarah, dan sama-sama memiliki kemungkinan gagal?
Dalam pikiranku, ada dua sosok yang selalu bertarung, bukan dengan senjata, tetapi dengan gagasan. Tan Malaka dan Sutan Sjahrir. Keduanya adalah anak muda pada masanya, dan keduanya punya visi yang sama: Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Tapi cara mereka berjuang begitu berbeda, bahkan bertolak belakang.
Lalu aku bertanya, haruskah aku menjadi seperti Tan Malaka, atau Sutan Sjahrir? Haruskah aku memilih jalan revolusi yang penuh kobaran api, atau jalan perjuangan yang dingin dan penuh perhitungan?
Tan Malaka: Kobaran Api yang Tak Padam
Tan Malaka adalah api. Panas, membakar, dan menghanguskan semua yang menghalangi jalannya. Ia percaya bahwa revolusi tidak bisa dilakukan dengan negosiasi atau kompromi. Baginya, perjuangan harus radikal, tanpa ruang untuk tunduk atau setengah-setengah.
Aku selalu mengagumi keberaniannya. Ia melawan penjajah Belanda, Jepang, hingga penguasa negerinya sendiri tanpa pernah menyerah. Ia bergerak di bawah tanah, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, menghindari peluru yang bisa saja mengakhiri hidupnya kapan saja.
Tapi aku juga tidak bisa menutup mata terhadap penderitaan yang ia alami. Ia diasingkan, diburu, dan akhirnya mati dalam kesunyian. Namanya sering dilupakan, gagasannya sering dikaburkan. Aku bertanya-tanya, apakah menjadi Tan Malaka berarti memilih kesendirian yang panjang? Apakah menjadi seorang revolusioner berarti harus siap kehilangan segalanya, termasuk kemungkinan untuk melihat dunia yang kau perjuangkan berubah?
Dan yang lebih menggelisahkan, bagaimana jika api itu membakar terlalu besar dan menghancurkan semuanya—termasuk orang-orang yang kita cintai?
Sutan Sjahrir: Angin yang Menyejukkan, Tapi Tak Selalu Didengar
Di sisi lain, ada Sutan Sjahrir. Ia bukan api, tetapi angin. Ia tidak membakar, tetapi menenangkan dan memberi ruang bagi perubahan yang lebih strategis. Ia bukan seorang yang turun ke medan perang, tetapi ia bertempur di meja perundingan.
Aku melihat Sjahrir sebagai sosok yang lebih dekat dengan realitas. Ia tahu bahwa perjuangan bukan hanya soal melawan, tetapi juga soal memahami. Ia mengerti bahwa Indonesia butuh pengakuan dunia, bukan hanya semangat membara tanpa arah. Ia memilih jalur diplomasi, berbicara dengan dunia, meyakinkan bahwa Indonesia pantas merdeka.
Tapi menjadi seperti Sjahrir juga bukan tanpa tantangan. Ia dicibir sebagai terlalu lembut, terlalu kompromistis. Bahkan, banyak dari teman seperjuangannya sendiri yang meragukan ketulusannya. Aku bertanya, apakah memilih jalan Sjahrir berarti siap dianggap pengecut? Siapkah aku bertahan ketika dunia menuding bahwa aku tidak cukup revolusioner, hanya karena aku memilih berbicara daripada bertempur?
Lebih menggelisahkan lagi, bagaimana jika angin yang berembus itu terlalu lemah dan tidak cukup kuat untuk membawa perubahan? Bagaimana jika, pada akhirnya, dunia hanya mendengar mereka yang berteriak paling lantang, bukan mereka yang berbicara dengan kepala dingin?
Jalan Mana yang Harus Kupilih?
Di sinilah aku berdiri, di antara dua jalan yang sama-sama menuju tujuan yang sama, tetapi dengan cara yang begitu berbeda.
Aku melihat teman-temanku yang memilih jalan Tan Malaka. Mereka turun ke jalan, meneriakkan perubahan, menolak sistem yang menindas. Mereka membakar semangat perlawanan, tanpa peduli apakah mereka akan dihancurkan atau tidak.
Aku juga melihat teman-temanku yang memilih jalan Sjahrir. Mereka memilih untuk bekerja di dalam sistem, mencari celah untuk melakukan perubahan dari dalam. Mereka percaya bahwa perubahan tidak bisa dicapai hanya dengan teriakan, tetapi harus dengan strategi dan pemikiran yang matang.
Tapi bagaimana jika aku tidak bisa memilih? Bagaimana jika aku merasa Tan Malaka terlalu keras, tetapi Sjahrir terlalu lembut? Bagaimana jika aku ingin menjadi revolusioner, tetapi aku juga takut kehilangan semuanya?
Ini adalah kegelisahan yang tidak hanya milikku. Aku yakin, banyak anak muda lain yang juga merasakannya. Kita hidup dalam dunia yang tidak sehitam-putih masa lalu. Kita dihadapkan pada realitas yang lebih kompleks, di mana idealisme sering bertabrakan dengan kenyataan.
Kita ingin berjuang, tapi kita juga takut kehilangan masa depan. Kita ingin melawan, tapi kita juga tidak ingin hanya menjadi arang yang habis terbakar.
Mencari Jalan di Antara Dua Arah
Mungkin, jawabannya bukan memilih salah satu. Mungkin, kita butuh sedikit dari Tan Malaka dan sedikit dari Sjahrir. Mungkin, kita harus berani menyalakan api perlawanan seperti Tan Malaka, tetapi juga harus cukup bijak untuk mengarahkan nyala api itu dengan strategi seperti Sjahrir.
Dunia tidak hanya membutuhkan revolusioner yang berani mati, tetapi juga pemikir yang berani hidup. Dunia tidak hanya butuh mereka yang menentang dengan suara lantang, tetapi juga mereka yang bekerja diam-diam untuk menciptakan perubahan yang nyata.
Aku masih belum tahu jalan mana yang akan kupilih. Tapi satu hal yang pasti, aku tidak ingin menjadi seseorang yang hanya berdiri di persimpangan, takut melangkah ke mana pun.
Entah aku akan menjadi api yang membakar, atau angin yang menyejukkan, aku ingin tetap menjadi bagian dari perubahan. Aku ingin menemukan caraku sendiri untuk berjuang, tanpa terjebak dalam dilema yang membelenggu.
Mungkin, pada akhirnya, bukan tentang menjadi Tan Malaka atau Sutan Sjahrir. Mungkin, ini tentang menjadi diriku sendiri—seorang anak muda yang gelisah, tetapi tetap berjalan maju.