Hari pertama puasa adalah hari penuh perjuangan. Sejak sahur, tubuh dan pikiran sudah mulai berdebat soal keabsahan kebiasaan yang tiba-tiba berubah.
Jagad, seorang pemuda yang selalu percaya bahwa hidup adalah tentang keseimbangan, mencoba menghadapinya dengan tenang.
Namun, keseimbangan macam apa yang bisa didapat kalau baru jam sepuluh pagi, perutnya sudah berontak seperti penumpang bus yang ketinggalan halte?
Sahur: Ritual yang Masih Sulit Diterima
Alarm berbunyi pukul 03.30. Jagad meraba-raba ponselnya dengan mata setengah tertutup. Dalam kegelapan, pikirannya masih berusaha memahami satu hal:
“Kenapa kita harus bangun jam segini buat makan?”
Dengan langkah malas, ia menuju meja makan. Piring nasi sudah siap, lengkap dengan lauk yang mengundang selera—jika ini adalah jam makan siang.
Tapi ini bukan makan siang. Ini sahur. Dan entah kenapa, makanan yang biasanya lezat, kini terasa seperti tantangan dalam kompetisi makan terbanyak.
“Nasi jam segini tuh kayak nggak punya rasa,” gumamnya sambil mengunyah pelan.
Ibunya, yang duduk di ujung meja, hanya melirik sekilas. Sudah paham. Setiap tahun, ini adalah drama yang selalu terjadi di hari pertama puasa.
Setelah makan sahur dengan setengah kesadaran, Jagad kembali ke kasur. Sempat terlintas pikiran untuk lanjut tidur, tapi kemudian suara adzan Subuh mengingatkan bahwa kehidupan harus terus berjalan.
Duel Psikologis: Lapar atau Sugesti?
Pukul sepuluh pagi, sesuatu mulai terjadi. Perutnya mengeluarkan suara-suara aneh, semacam orkestra yang belum siap tampil di panggung.
Ini aneh. Biasanya, kalau lagi sibuk, ia bisa melewatkan sarapan tanpa masalah. Tapi kenapa hari ini terasa seperti ada yang salah?
“Apa aku benar-benar lapar, atau ini cuma sugesti karena tahu sedang berpuasa?” pikirnya sambil menekan perut yang mulai bertingkah seperti anak kecil minta perhatian.
Ia mencoba mengabaikan. Tapi setiap lewat dapur, botol air mineral di meja seperti memanggil namanya.
“Jagad… Jagad… minumlah aku… dingin dan segar loh…”
Jagad menutup mata, berusaha menenangkan diri. Ini hanya ilusi. Ini hanyalah perlawanan dari tubuh yang masih belum sepenuhnya menerima kenyataan bahwa hari ini tidak ada camilan di jam tanggung.
Antara Nafsu dan Kenyataan
Siang hari adalah titik kritis. Sinar matahari makin terik, jalanan sepi, dan tubuhnya mulai mengirimkan sinyal lemah.
Kenapa, di saat seperti ini, semua hal yang berhubungan dengan makanan terasa lebih menggoda?
Iklan sirup di TV tampak lebih dramatis dari biasanya. Es buah di dalam kulkas seolah mengedipkan mata. Bahkan, ia tiba-tiba mengidamkan tahu bulat digoreng dadakan.
Padahal, kapan terakhir kali ia benar-benar ingin makan tahu bulat?
“Apa ini yang disebut ujian duniawi?” renungnya sambil memandang kipas angin yang tidak bisa berbuat banyak selain berputar tanpa emosi.
Tantangan bertambah ketika grup chat keluarga mulai sibuk membahas menu buka puasa. Foto-foto makanan berseliweran seperti parade godaan.
Jagad mencoba keluar rumah untuk mencari udara segar, tapi di luar malah lebih parah. Hampir setiap warung makan memasang banner:
“Buka mulai pukul 15.00 – Menu spesial: Ayam penyet sambal bawang!”
“Kenapa pengusaha kuliner selalu tahu cara menghancurkan mental orang yang lagi berpuasa?” keluhnya.
Mendamaikan Pikiran dan Perut
Menjelang sore, Jagad mulai berdamai dengan kenyataan.
Ia mulai menyadari bahwa sebagian besar rasa lapar ini bukan datang dari perutnya, tapi dari pikirannya sendiri.
Sejak kecil, tubuhnya sudah terbiasa bertahan seharian tanpa makanan dalam kondisi tertentu—entah karena sibuk, lupa makan, atau sedang malas gerak.
Jadi, yang membuatnya terasa berat bukan puasanya, tapi pikirannya yang terus mengingatkan bahwa ia sedang berpuasa.
Semakin ia fokus pada rasa lapar, semakin ia merasa tersiksa. Tapi begitu ia sibuk dengan hal lain, rasa laparnya perlahan menghilang.
“Jadi ini kuncinya? Kesibukan adalah solusi menghindari rasa lapar?”
Dengan semangat baru, ia mengambil buku untuk dibaca. Tapi, sayangnya, yang ia ambil adalah buku resep masakan.
“Oke, ini nggak membantu,” ujarnya sambil menutup buku dengan cepat.
Maghrib: Akhir dari Perjuangan Hari Pertama
Adzan maghrib akhirnya berkumandang. Jagad menghela napas lega.
Satu tegukan air pertama terasa seperti keajaiban. Kesegaran itu tidak hanya menghilangkan haus, tapi juga membawa kesadaran:
“Ternyata aku bisa bertahan. Hari pertama memang selalu terasa berat, tapi semua hanya permainan pikiran.”
Ia menggigit kurma dengan penuh kemenangan. Seluruh perjuangan sejak Subuh terbayar lunas dalam satu suapan.
Lalu, ketika akhirnya ia bisa menikmati nasi padang yang sejak tadi ada di pikirannya, ia hanya bisa tersenyum.
Hari pertama selesai. Tapi besok?
Perjuangan baru akan dimulai lagi.
Tapi untuk sekarang, biarkanlah Jagad menikmati momen suci ini: buka puasa.