“Di belakang laki-laki hebat, ada perempuan yang lebih hebat.”
Sebuah kutipan yang sering terdengar, tapi kalau dipikir-pikir, kenapa perempuan selalu “di belakang”? Kenapa nggak di samping atau bahkan di depan? Apakah ini berarti perempuan selalu harus jadi bayangan dari laki-laki, padahal dalam sejarah, mereka justru adalah api yang membakar perubahan?
Hari ini, kita merayakan Hari Perempuan Internasional, momen untuk mengingatkan bahwa perempuan tidak sekadar figuran dalam cerita besar bangsa ini. Mereka bukan sekadar “pelengkap penderita” dalam kalimat perjuangan, melainkan subjek utama dalam narasi perubahan.
Perempuan dan Revolusi: Dari Dapur ke Barikade
Sejarah mencatat, perempuan bukan cuma tukang ngipasi api perjuangan, tapi juga bensin yang bikin api itu makin berkobar. Dalam setiap gerakan besar di Indonesia—dari perlawanan terhadap kolonialisme hingga reformasi—selalu ada perempuan yang berperan.
Tapi anehnya, banyak orang yang menganggap perjuangan perempuan hanya terjadi di dapur atau ranah domestik. Padahal, kalau kita mau jujur, banyak revolusi besar dimulai dari obrolan di dapur. Dapur bukan hanya tempat masak, tapi juga tempat menyusun strategi, merancang siasat, dan mengorganisir perlawanan.
Dari Cut Nyak Dhien hingga Kartini: Perempuan yang Tidak Cuma Bisa Nulis Surat
Kita mulai dari yang klasik. Cut Nyak Dhien, misalnya, bukan sekadar “istri pahlawan.” Dia adalah pemimpin perang gerilya, yang ketika suaminya gugur, langsung mengambil alih komando melawan Belanda. Dia tidak hanya menyemangati pasukan dari belakang, tapi terlibat langsung dalam pertempuran.
Sementara Kartini, yang sering dikurung dalam buku pelajaran sebagai simbol emansipasi, sebenarnya lebih liar dari sekadar “Habis Gelap Terbitlah Terang.” Dalam surat-suratnya, dia menulis gagasan yang mengkritik sistem patriarki yang menekan perempuan. Kartini tidak hanya ingin perempuan bisa sekolah, tapi juga bisa berpikir bebas dan merdeka.
Tapi sayangnya, sejarah sering memoles Kartini menjadi perempuan yang “lembut” dan “patuh,” seolah-olah perjuangannya cuma sebatas menulis surat dan menunggu nasib berubah. Padahal, kalau dia hidup di zaman sekarang, mungkin dia sudah jadi aktivis feminis garis keras yang turun ke jalan membawa spanduk besar bertuliskan “Hancurkan Patriarki!”
Perempuan dalam Perlawanan Modern: Dari Marsinah hingga Sipon
Sejarah perlawanan perempuan nggak berhenti di era kolonial. Marsinah adalah contoh nyata bagaimana perempuan berdiri di garis depan perjuangan buruh. Sebagai aktivis, dia menuntut hak-hak pekerja yang dieksploitasi, hingga akhirnya dibunuh secara kejam oleh penguasa.
Lalu ada Sipon, istri dari Wiji Thukul. Saat suaminya menghilang karena diculik, dia tetap tegak. Dia bukan hanya “istri pahlawan,” tapi juga simbol keteguhan seorang perempuan dalam menghadapi represi negara. Perjuangan perempuan sering kali tak hanya melawan musuh di luar, tapi juga melawan sistem yang mencoba membungkam mereka.
Perempuan dan Politik: Dari Pemilu ke Dapur Umum
Setiap menjelang pemilu, partai politik tiba-tiba jadi feminis dadakan: mereka menampilkan wajah perempuan di poster, berbicara soal “kesetaraan,” dan menekankan pentingnya representasi perempuan. Tapi setelah pemilu selesai, banyak perempuan yang justru diabaikan, suaranya diredam, dan posisinya hanya jadi formalitas.
Politik sering kali masih didominasi laki-laki, dan perempuan yang berani bersuara sering dianggap “terlalu keras,” “tidak tahu tempat,” atau “bikin gaduh.” Padahal, kalau nggak gaduh, kapan kita didengar?
Bahkan dalam gerakan sosial dan perlawanan, perempuan sering kali memegang peran yang tak terlihat. Saat demonstrasi besar, mereka yang menyiapkan konsumsi, mengorganisir logistik, dan memastikan gerakan tetap berjalan. Tapi ketika gerakan itu berhasil, nama mereka sering terlupakan.
Feminisme dan Perlawanan: Jangan Cuma Estetik, Bung!
Hari ini, feminisme sering dikemas dalam bentuk yang lebih komersial. Kaos-kaos bertuliskan “The Future is Female” dijual mahal, tapi di tempat kerja, perempuan masih dibayar lebih rendah dari laki-laki. Banyak laki-laki yang mengaku “pro perempuan,” tapi di rumah masih nyuruh pasangannya multitasking antara kerja, masak, dan tetap glowing.
Feminisme bukan sekadar kutipan inspiratif di bio Instagram atau hashtag di TikTok. Ini soal perjuangan nyata: bagaimana perempuan bisa punya hak yang sama, kesempatan yang setara, dan tidak selalu dijadikan objek domestik atau politik.
Jadi, kalau kamu laki-laki dan bilang, “Saya mendukung perempuan!” pertanyaannya adalah:
Apakah kamu benar-benar mendengar suara mereka atau cuma pura-pura mendukung biar kelihatan keren?
Apakah kamu benar-benar menghargai perempuan sebagai pemimpin, atau masih diam-diam merasa laki-laki harus selalu di atas?
Apakah kamu sadar bahwa perjuangan perempuan bukan hanya urusan perempuan, tapi urusan semua orang?
Perempuan Itu Bukan ‘Pendukung’, tapi Pelaku Perubahan
Hari Perempuan Internasional bukan sekadar seremoni. Ini adalah pengingat bahwa perempuan bukan hanya “pendukung” dalam perjuangan, tapi pelaku utama dalam perubahan.
Untuk para laki-laki, mendukung perempuan bukan hanya soal ikut-ikutan tren atau bilang “Aku feminis.” Itu harus tercermin dalam tindakan: dari tidak mansplaining, tidak memandang perempuan sebagai objek, hingga benar-benar membuka ruang bagi perempuan untuk memimpin.
Untuk para perempuan, jangan biarkan sistem membatasi langkah. Perlawanan tidak harus selalu dengan turun ke jalan (meski kalau mau, monggo). Bisa lewat tulisan, gerakan sosial, atau bahkan dalam ruang terkecil seperti keluarga dan tempat kerja.
Karena seperti kata Soe Hok Gie,
“Yang lebih menakutkan dari ketidakadilan adalah bila kita sudah terbiasa dengan ketidakadilan itu sendiri.”
Selamat Hari Perempuan Internasional! Perlawanan belum selesai, kawan!