Jagad selalu percaya bahwa kopi adalah bagian dari identitasnya. Bukan sekadar minuman, tetapi ritual.
Di hari-hari biasa, kopi adalah teman dalam segala situasi—pagi yang malas, siang yang penuh kerjaan, atau malam yang butuh refleksi. Ia bisa melewatkan makan siang kalau perlu, tapi melewatkan kopi? Itu hampir mustahil.
Lalu datanglah Ramadhan.
Di mana kebiasaan harus disesuaikan, jadwal harus dirombak, dan yang paling menyakitkan: kopi harus dikonsumsi sebelum Subuh.
Dilema Kopi di Bulan Puasa
Hari pertama dan kedua, Jagad mencoba bertahan tanpa kopi. Hasilnya? Tidak bagus.
Kepalanya berat, tubuhnya seperti kekurangan tenaga, dan pikirannya tidak bisa fokus. Seperti HP yang baterainya tinggal 1%, tapi charger-nya lagi dipinjam orang.
“Aku butuh kopi,” pikirnya di malam hari, sambil menatap gelas kosong di meja.
Tapi ia tahu, ada risiko besar:
Minum kopi sebelum Subuh bisa berarti dehidrasi di siang hari. Dan kalau ia minum kopi dengan gula, efeknya bisa bikin perut lebih cepat lapar.
Setelah pertimbangan matang dan sedikit riset Google tentang efek kafein saat puasa, Jagad mengambil keputusan berani:
Ia tetap ngopi. Tapi tanpa gula.
Satu Cangkir Kopi Hitam di Dini Hari
Sahur hari ketiga terasa berbeda. Di samping sepiring nasi dan lauk sederhana, ada satu gelas kopi hitam mengepul.
Jagad menatapnya dengan perasaan campur aduk.
Di satu sisi, ini adalah kebahagiaan kecil—kopi tetap ada dalam rutinitasnya. Tapi di sisi lain, ini kopi tanpa gula.
Ia mengangkat gelas dan meniupnya pelan. Menghirup aromanya dalam-dalam.
“Mungkin ini tidak akan terlalu buruk,” pikirnya.
Lalu, ia menyeruputnya.
Dan langsung menyadari bahwa ini keputusan yang harus ia pertimbangkan lagi di hari berikutnya.
Laku Spiritual atau Penderitaan?
Tanpa gula, kopi terasa lebih pekat. Tidak ada rasa manis yang menyeimbangkan pahitnya. Tidak ada rasa nyaman seperti biasanya.
Biasanya, kopi adalah pelukan hangat di pagi hari. Kali ini, kopi terasa seperti guru keras yang sedang memberi pelajaran hidup.
“Inilah hakikat kopi sejati,” kata orang-orang yang percaya bahwa kopi hitam tanpa gula adalah bentuk penghormatan terhadap esensi kafein.
Jagad mulai bertanya-tanya, apakah ini memang laku spiritual? Sebuah latihan untuk memahami kehidupan dalam bentuk paling murni?
Ataukah ini hanya bentuk penderitaan yang tidak perlu?
Sementara orang lain menikmati sahur dengan teh manis atau susu hangat, ia duduk sendirian dengan kopi hitam yang pahit dan tatapan mata yang mulai mempertanyakan pilihan hidupnya.
Efek Kopi di Siang Hari
Setelah Subuh, Jagad tidak langsung tidur seperti hari sebelumnya. Kali ini, tubuhnya terasa lebih segar.
Kafein mulai bekerja.
Ia merasa lebih fokus, lebih waspada. Tidak ada rasa malas yang biasanya menyerang setelah makan sahur.
“Tunggu… apa ini artinya berhasil?” pikirnya dengan penuh harapan.
Siang hari datang. Biasanya, di jam ini, ia mulai merasa mengantuk dan kehilangan energi. Tapi tidak hari ini.
Jagad masih segar. Tidak ada kantuk, tidak ada kepala berat. Kopi hitam tanpa gula benar-benar bekerja.
Tapi ada satu masalah:
Haus.
Bukan haus biasa, tapi haus yang seperti datang dari dasar jiwa.
Tenggorokannya kering, bibirnya mulai pecah-pecah, dan setiap melihat air di TV, ia merasa sedang menonton adegan film bertahan hidup di gurun pasir.
“Aku bisa melawan rasa lapar. Tapi haus? Ini cerita yang berbeda,” gumamnya sambil menatap botol air mineral di meja, yang seolah memancarkan cahaya suci.
Sore Hari: Menimbang Keputusan Besok
Menjelang Maghrib, Jagad mulai berpikir ulang tentang strateginya.
Kopi hitam tanpa gula memang membantunya tetap fokus, tapi apakah efek sampingnya sepadan?
Ia mulai mempertimbangkan beberapa opsi:
Tetap ngopi, tapi mengurangi porsinya.
Plus: Masih bisa menikmati kopi.
Minus: Risiko haus tetap ada.
Mengganti kopi dengan teh.
Plus: Lebih ringan, tidak terlalu bikin dehidrasi.
Minus: Tidak ada efek ‘tendangan’ seperti kopi.
Tetap ngopi, tapi pakai gula dikit aja.
Plus: Rasa lebih enak.
Minus: Bisa bikin cepat lapar.
Ini bukan keputusan yang bisa diambil dengan sembarangan.
“Aku butuh riset lebih dalam,” pikirnya.
Tapi riset bisa menunggu. Karena sekarang, adzan Maghrib berkumandang.
Saat ia meneguk air pertama, rasa haus yang tadi menyiksanya langsung sirna. Rasanya seperti mendapatkan kembali hak asasi yang sempat direnggut oleh eksperimen kopinya sendiri.
Jagad menatap gelas kopi di atas meja.
Besok, keputusan harus dibuat.
Apakah ia akan tetap setia pada kopi hitam tanpa gula?
Ataukah ia akan kembali ke kebiasaan lama, dengan risiko kantuk dan kehilangan fokus?
Satu hal yang pasti: kopi bukan sekadar minuman. Ini adalah perjalanan spiritual yang lebih kompleks dari yang ia kira.