Sarung terlipat rapi, baju koko wangi, sandal berada dalam kondisi optimal—tidak terlalu baru sehingga licin, tapi juga tidak terlalu tua sehingga jebol di tengah jalan.
Malam ini, ia akan berangkat tarawih.
Tapi ada satu masalah yang sejak tadi ia pikirkan.
Sebuah pertanyaan filosofis yang mungkin juga menghantui banyak orang di bulan Ramadhan:
Pilih masjid yang cepat atau yang nyaman?
Maraton vs Sprint
Dalam dunia lari, ada dua gaya utama: maraton dan sprint.
Maraton itu panjang, butuh ketahanan, dan memerlukan ritme yang stabil agar tidak kehabisan tenaga di tengah jalan.
Sprint itu pendek, cepat, dan fokus pada kecepatan maksimal dalam waktu singkat.
Masalahnya, konsep ini juga berlaku dalam shalat tarawih.
Beberapa masjid memilih gaya maraton: shalat dilakukan dengan khusyuk, tartil, dan mungkin sesekali ada ceramah singkat di tengah-tengah.
Sementara yang lain memilih gaya sprint: imam membaca surat pendek dengan kecepatan kilat, gerakan super efisien, dan sebelum orang sempat berkeringat, shalat sudah selesai.
Dua gaya ini punya kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Maraton: Memberikan pengalaman ibadah yang lebih tenang, tapi berisiko membuat kaki kesemutan.
Sprint: Efektif bagi yang ingin cepat pulang, tapi sering kali membuat hati bertanya-tanya, “Apakah ini masih dalam batas kecepatan yang diperbolehkan?”
Jagad berada di persimpangan jalan.
Ia ingin shalat dengan nyaman, tapi juga tidak ingin berdiri terlalu lama sampai merasa seperti sedang melakukan workout statis.
Dilema di Malam Ramadhan
Setelah menimbang dengan matang, Jagad memutuskan untuk bereksperimen.
Malam ini, ia akan mencoba masjid sprint.
Masjid ini terkenal di kalangan warga sebagai tempat fast and furious. Imamnya memiliki reputasi sebagai pembaca Al-Fatihah tercepat di radius lima kilometer.
Jagad penasaran.
Apakah ini akan menjadi pengalaman spiritual yang efisien? Atau justru perjalanan yang penuh tanda tanya?
Tarawih Kecepatan Tinggi
Begitu shalat Isya selesai, Jagad langsung bersiap.
Imam berdiri, mikrofon disesuaikan, jamaah menarik napas dalam-dalam.
Lalu… Bismillahirrahmanirrahim.
Jagad langsung tahu bahwa ia baru saja memasuki perlombaan kecepatan.
Gerakan shalat terasa seperti latihan high-intensity interval training (HIIT). Rukuk dan sujud dilakukan dengan presisi secepat mungkin, seakan-akan ada hitungan mundur yang harus dipatuhi.
Sebelum ia sempat merasa nyaman di posisi duduk di antara dua sujud, tahu-tahu imam sudah bangkit lagi.
Jagad mulai berpikir: “Apakah ini shalat atau kompetisi siapa yang bisa menyelesaikan satu rakaat tercepat?”
Ketika salam terakhir diucapkan, Jagad menatap jam.
Hanya 15 menit.
“Luar biasa,” gumamnya.
Sementara di masjid sebelah baru memasuki rakaat keempat, di sini jamaah sudah mulai berkemas, bersiap kembali ke rumah atau berburu takjil ronde kedua.
Jagad menghela napas.
Efisien? Iya.
Tapi apakah ia merasa puas? Itu pertanyaan lain.
Pindah ke Masjid Maraton
Malam berikutnya, Jagad memutuskan mencoba pengalaman yang berbeda.
Kali ini, ia pergi ke masjid dengan gaya maraton.
Imamnya dikenal dengan bacaan yang tartil, tenang, dan penuh penghayatan.
Begitu takbir pertama diucapkan, Jagad langsung merasakan perbedaan.
Di masjid ini, setiap gerakan dilakukan dengan tempo yang lebih lambat. Ayat-ayat dibaca dengan jelas, tanpa terburu-buru.
Jagad mencoba menikmati prosesnya.
Tapi di rakaat ketujuh, kakinya mulai kebas.
Di rakaat kesepuluh, pikirannya mulai melantur ke hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan ibadah.
Di rakaat kesebelas, ia mulai bertanya-tanya apakah sudah waktunya menyerah.
Ketika akhirnya salam terakhir diucapkan, Jagad merasa puas… tapi juga lelah.
Ia melihat jam: hampir satu jam penuh.
“Luar biasa,” gumamnya lagi, tapi kali ini dengan nada yang sedikit berbeda.
Pelajaran dari Dua Gaya
Dalam perjalanan pulang, Jagad merenung.
Dua malam ini memberinya pengalaman yang kontras.
Tarawih sprint: Cepat, efisien, tapi terasa seperti hanya menyelesaikan tugas.
Tarawih maraton: Penuh penghayatan, tapi bisa jadi ujian ketahanan fisik.
Lalu ia mulai berpikir…
Bukankah hidup juga seperti ini?
Ada orang yang menjalani hidup dengan prinsip sprint—secepat mungkin, seefektif mungkin, tanpa terlalu banyak berhenti untuk merenung.
Ada juga yang memilih maraton—menikmati setiap proses, meskipun lebih panjang dan melelahkan.
Dua-duanya sah. Dua-duanya punya kelebihan dan kekurangan.
Yang penting bukan kecepatannya, tapi bagaimana seseorang menemukan ritme yang paling cocok untuk dirinya.
Keputusan Jagad
Malam berikutnya, Jagad tidak langsung memilih.
Ia tidak ingin lagi sekadar mengejar cepat, tapi juga tidak ingin terlalu lelah sampai kehilangan fokus.
Jadi ia memilih masjid yang ada di tengah-tengah—tidak terlalu sprint, tapi juga tidak terlalu maraton.
Sebuah masjid dengan ritme yang pas.
Dan di situlah ia akhirnya merasa damai.
Mungkin, inilah pelajaran sejati dari Ramadhan.
Bukan tentang siapa yang paling cepat selesai, atau siapa yang paling lama bertahan.
Tapi tentang menemukan keseimbangan.
Karena pada akhirnya, tarawih bukanlah soal sprint atau maraton.
Tarawih adalah perjalanan.
Dan setiap orang harus menemukan cara terbaik untuk menikmatinya.