Anak Muda Cangkruk Lelucon

Hari Keenam: Ketika Rasa Lapar Membuatmu Bijaksana

Jagad selalu percaya bahwa manusia memiliki dua versi dalam dirinya: versi lapar dan versi kenyang. Versi lapar adalah filsuf, pemikir, manusia spiritual yang bijaksana. Sedangkan versi kenyang? Itu lebih mirip hewan ternak yang hanya ingin rebahan setelah makan berlebihan.

Hari keenam puasa ini, Jagad semakin sadar bahwa rasa lapar bukan sekadar ujian fisik, tapi juga membuka pintu perenungan. Pagi tadi, saat perutnya mulai keroncongan tapi masih bisa dikendalikan, ia merasa seperti Socrates yang sedang merenungi makna kehidupan.

“Mungkin begini rasanya jadi seorang sufi. Berpuasa, menahan diri, lalu melihat kehidupan dengan lebih jernih,” pikirnya.

Ia tiba-tiba merasa lebih paham makna kesederhanaan. Ia memandangi rumahnya yang sederhana, dengan dinding yang catnya mulai mengelupas di beberapa sudut, dan merasa bahwa hidup tak perlu banyak keinginan. Manusia hanya perlu tempat berteduh, makanan secukupnya, dan hati yang damai.

Tapi saat berbuka tiba, semua teori itu runtuh.

Jagad, yang tadi bijaksana layaknya seorang pertapa, mendadak berubah menjadi manusia rakus yang tak bisa dikendalikan. Ia mengambil tiga gorengan sekaligus, meneguk es teh seperti sedang kehausan di padang pasir, dan menghabiskan sepiring nasi dalam kecepatan yang mungkin bisa mencetak rekor dunia.

Baru setelah itu ia tersadar: semua kebijaksanaan yang tadi dipikirkan saat lapar, lenyap begitu kenyang.

Ia mencoba merenungkan kembali. Tadi pagi, ia berpikir bahwa manusia harus sederhana, tapi sekarang, setelah perut terisi penuh, ia mulai memikirkan hal-hal duniawi lagi. Misalnya, keinginan untuk membeli sneakers baru, keinginan untuk upgrade HP, dan keinginan untuk menambah porsi makan karena masih ada ruang sedikit di perutnya.

“Apakah ini alasan kenapa para filsuf besar di masa lalu jarang terlihat gemuk?” pikirnya.

Jagad mulai memahami bahwa lapar membuat seseorang lebih peka terhadap kehidupan, lebih bijaksana dalam berpikir, dan lebih rendah hati dalam bersikap. Sedangkan kenyang… ya, kenyang hanya membuat manusia ingin tidur.

Lalu, apakah ini artinya kebijaksanaan sejati hanya bisa dicapai saat lapar? Jika begitu, apakah berarti semakin lapar seseorang, semakin tinggi tingkat spiritualitasnya?

Tapi di sisi lain, kalau lapar berkepanjangan, seseorang bisa kehilangan fokus dan akhirnya malah berpikir irasional—misalnya, berpikir bahwa dua porsi nasi goreng setelah berbuka adalah ide yang masuk akal.

Di penghujung hari keenam ini, Jagad mengambil kesimpulan sederhana: mungkin kebijaksanaan itu bukan tentang lapar atau kenyang, tapi tentang keseimbangan. Tidak terlalu lapar hingga kehilangan energi, tapi juga tidak terlalu kenyang hingga kehilangan akal sehat.

Dan mungkin, inilah salah satu alasan kenapa puasa diajarkan: bukan hanya untuk menahan lapar, tapi untuk memahami bahwa manusia sering kali berubah tergantung kondisi perutnya.

Besok, Jagad akan mencoba berbuka dengan lebih tenang. Tidak perlu tergesa-gesa, tidak perlu kalap. Karena ia tahu, kebijaksanaan yang didapat saat lapar akan sia-sia jika hanya bertahan sampai suapan pertama.

Janu Wisnanto

Janu Wisnanto

About Author

Penulis partikelir pojokan Sleman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Jangan ketinggalan Update dari kami

    Kami akan mengirimkan anda update terbaru dari Layanglayang Merah.

    LLM @2024. All Rights Reserved. | Developed with love ISW