Anak Muda Cangkruk Lelucon

Hari Kedua: Sahur dan Kesalahan Kalkulasi

Setelah sukses melewati hari pertama dengan kemenangan tipis, ia berpikir bahwa kali ini harus lebih strategis. Tidak boleh lagi merasa lapar sebelum waktunya. Tidak boleh ada drama perut merintih di tengah hari.

“Triknya adalah makan lebih banyak saat sahur,” pikirnya penuh keyakinan.

Tapi, seperti banyak hal dalam hidup, teori seringkali lebih mudah daripada praktik.

Strategi yang Terlalu Ambisius

Alarm berbunyi pukul 03.30. Kali ini Jagad tidak terlalu malas bangun. Masih ada rasa euforia dari keberhasilan hari pertama. Ia bahkan sempat tersenyum kecil saat mengingat betapa ia telah menaklukkan rasa lapar dengan tekad baja dan sedikit tipu-tipu pikiran.

Dengan semangat, ia duduk di meja makan.

Di hadapannya sudah tersaji nasi dengan lauk yang berlimpah. Ada ayam goreng, tahu tempe, sayur bening, sambal, dan telur dadar setebal buku pelajaran SMA. Ditambah roti dan susu di sisi lain meja.

“Hari ini aku harus makan banyak biar kuat sampai maghrib,” gumamnya dengan penuh keyakinan.

Ibu dan ayahnya hanya melirik sebentar. Sepertinya ingin memberi nasihat, tapi memilih untuk membiarkan anaknya belajar dari pengalaman.

Maka, dimulailah ritual sahur penuh ambisi.

Suapan demi suapan masuk tanpa ampun. Awalnya, semuanya terasa baik-baik saja. Tapi di tengah perjalanan, Jagad mulai sadar bahwa ia sudah masuk ke fase over capacity.

Namun, karena ia telah memutuskan untuk makan banyak, ia tetap lanjut. “Ayo, Jagad! Ini demi masa depan yang lebih baik! Demi puasa yang lebih nyaman!”

Satu suapan lagi.

Satu suapan lagi.

Sampai akhirnya…

Duar!

Perutnya sudah di ambang batas. Tapi karena sahur hampir selesai, ia tetap memaksakan seteguk susu terakhir.

Dan itu adalah kesalahan fatal.

Efek Samping Perut Penuh

Setelah sahur, Jagad bersiap untuk salat Subuh. Tapi ada satu masalah: tubuhnya terasa berat. Bukan berat karena kantuk, tapi karena kekenyangan.

Rasa sesak melanda. Ia merasa seperti panci yang isinya terlalu penuh dan siap meluber kapan saja.

“Bentar, aku selonjoran dulu,” katanya sambil berbaring di kasur dengan tangan di atas perut.

Dan di sinilah tragedi dimulai.

Rencana awalnya hanya rebahan sebentar. Tapi tubuh yang penuh makanan ternyata memiliki mode auto-sleep.

Jagad ketiduran.

Bukan sekadar tidur biasa. Ini adalah tidur yang dalam, tidur yang menyeretnya ke alam bawah sadar tanpa izin.

Bangun dengan Kaget dan Kebingungan

Ketika akhirnya ia terbangun, ada perasaan aneh yang langsung menyergapnya.

Kenapa kamar terasa lebih terang dari biasanya?

Kenapa suasana rumah begitu sepi?

Kenapa perutnya masih terasa penuh, padahal harusnya sudah masuk fase lapar?

Ia melirik jam di ponselnya.

13.12

Jagad terdiam.

Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Hari ini ia bukan hanya melewatkan pagi, tapi juga melewatkan drama psikologis lapar yang biasanya datang lebih awal.

“Astaga… aku ketiduran sampai siang,” ujarnya panik.

Tiba-tiba, rasa bersalah melanda. Seharusnya ia produktif. Seharusnya ia membaca buku, menulis sesuatu, atau setidaknya menikmati momen refleksi diri di bulan suci.

Tapi kenyataannya, ia malah menghabiskan pagi dengan menjadi burrito manusia di dalam selimut.

“Strategi sahurku salah total,” gumamnya.

Sore yang Penuh Penyesalan

Menjelang sore, efek dari kebanyakan makan sahur masih terasa. Biasanya, di hari kedua puasa, tubuh mulai menyesuaikan diri. Tapi karena sahur tadi penuh dengan ambisi berlebihan, tubuh Jagad masih sibuk mengolah makanan yang ia paksa masuk.

Lapar yang seharusnya datang di siang hari kini tertunda. Tapi masalahnya, efek kekenyangan juga belum sepenuhnya hilang.

Ini seperti kondisi yang serba salah. Mau makan, tapi belum bisa. Mau menikmati momentum puasa, tapi tidak terasa seperti berpuasa.

“Ini sih bukan puasa, ini lebih mirip diet ketidaksengajaan,” pikirnya.

Sambil menatap jendela, ia memutuskan untuk belajar dari kesalahan. Besok, ia harus lebih bijak dalam menentukan porsi sahur. Tidak boleh lagi berlebihan. Tidak boleh ada tragedi ketiduran sampai siang.

Maghrib: Momen Kembali ke Realitas

Adzan maghrib berkumandang. Jagad bersiap untuk berbuka dengan perasaan yang sedikit berbeda dari hari sebelumnya.

Hari ini ia tidak terlalu tersiksa oleh lapar, tapi ia justru merasa ada yang kurang. Sensasi perjuangan yang ia alami di hari pertama justru hilang karena kesalahan kalkulasinya sendiri.

Dengan seteguk air pertama, ia menarik napas panjang.

“Baiklah, besok aku harus lebih seimbang,” ujarnya.

Tapi ketika makanan mulai masuk, pikirannya langsung berubah.

“Apa nanti sahurnya pakai nasi goreng aja ya?”

Sepertinya, Jagad memang masih harus banyak belajar tentang strategi puasa.

Janu Wisnanto

Janu Wisnanto

About Author

Penulis partikelir pojokan Sleman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Jangan ketinggalan Update dari kami

    Kami akan mengirimkan anda update terbaru dari Layanglayang Merah.

    LLM @2024. All Rights Reserved. | Developed with love ISW