Anak Muda Budaya Politik Sosial

Gus Dur dan Imlek: Warisan Toleransi dan Kasih Sayang untuk Indonesia

Setiap tahun, perayaan Tahun Baru Imlek di Indonesia berlangsung meriah, dengan barongsai yang beratraksi di pusat perbelanjaan, lampion-lampion merah menghiasi sudut kota, dan keluarga-keluarga berkumpul untuk merayakan awal tahun yang penuh harapan. Namun, di balik kebebasan ini, ada perjalanan panjang yang tak lepas dari peran seorang tokoh besar dalam sejarah bangsa: KH. Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur.

Gus Dur bukan hanya seorang pemimpin politik, tetapi juga sosok yang menjunjung tinggi toleransi, persaudaraan, dan hak asasi manusia. Salah satu warisan terbesarnya adalah pencabutan larangan perayaan Imlek di Indonesia, yang sebelumnya dilarang selama lebih dari tiga dekade. Keputusan ini bukan sekadar kebijakan administratif, tetapi sebuah langkah revolusioner dalam mengembalikan hak-hak masyarakat Tionghoa dan memperkuat semangat kebhinekaan di Indonesia.

Diskriminasi Etnis Tionghoa di Indonesia: Masa Kelam Sebelum Reformasi

Sejarah mencatat bahwa etnis Tionghoa di Indonesia telah lama mengalami diskriminasi, terutama sejak masa kolonial. Pada masa penjajahan Belanda, kebijakan segregasi sosial membuat mereka dipisahkan dari kelompok pribumi dalam sistem kelas sosial. Setelah kemerdekaan, diskriminasi ini tidak serta-merta hilang.

Pada 1967, di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, keluar Instruksi Presiden (Inpres) No. 14 Tahun 1967, yang secara resmi melarang segala bentuk ekspresi budaya Tionghoa di ruang publik, termasuk perayaan Imlek, penggunaan aksara Mandarin, serta kegiatan keagamaan seperti sembahyang di klenteng. Kebijakan ini merupakan respons terhadap ketegangan politik pasca-pemberontakan G30S/PKI, yang menyebabkan kecurigaan terhadap komunitas Tionghoa, meskipun tidak semua dari mereka terlibat dalam peristiwa tersebut.

Akibat kebijakan ini, banyak warga Tionghoa harus menyembunyikan identitas budaya mereka. Bahasa Mandarin dilarang di sekolah-sekolah, klenteng-klenteng dipaksa beroperasi secara tertutup, dan nama-nama Tionghoa pun diindonesiakan. Bahkan, mereka harus memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) sebagai bukti sah kewarganegaraan, sesuatu yang tidak diberlakukan bagi etnis lain.

Perayaan Imlek hanya bisa dilakukan secara pribadi, di dalam rumah atau ruang tertutup. Larangan ini membuat generasi muda keturunan Tionghoa perlahan kehilangan keterikatan dengan budaya leluhur mereka.

Gus Dur: Pemimpin yang Menghapus Ketidakadilan

Ketika Gus Dur terpilih sebagai Presiden keempat Republik Indonesia pada 20 Oktober 1999, ia membawa angin perubahan besar dalam hal kebebasan beragama dan hak-hak minoritas. Salah satu langkah berani yang diambilnya adalah mencabut Inpres No. 14/1967 melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 6 Tahun 2000, yang secara resmi memperbolehkan kembali perayaan Imlek di ruang publik.

Bagi Gus Dur, kebijakan diskriminatif terhadap masyarakat Tionghoa adalah bentuk ketidakadilan yang tidak boleh dibiarkan. Ia percaya bahwa semua warga negara, tanpa memandang etnis atau agama, memiliki hak yang sama dalam mengekspresikan budaya dan keyakinannya. Pencabutan larangan ini adalah langkah simbolis yang besar, menandai era baru dalam hubungan antar-etnis di Indonesia.

Tidak hanya berhenti di situ, Gus Dur juga mengambil langkah-langkah lain untuk memastikan integrasi etnis Tionghoa ke dalam kehidupan sosial-politik Indonesia:

Sebelum era reformasi, Konghucu tidak diakui sebagai agama resmi di Indonesia. Penganutnya sering kali terpaksa mencantumkan agama lain di KTP mereka agar tetap diakui secara administratif. Namun, di bawah kepemimpinan Gus Dur, perjuangan untuk hak-hak mereka membuahkan hasil dengan diakuinya Konghucu sebagai agama resmi melalui Keputusan Presiden No. 6 Tahun 2000. Keputusan ini juga sejalan dengan pencabutan larangan perayaan Imlek, yang sebelumnya tidak diperbolehkan secara resmi.

Selain itu, Gus Dur juga memperjuangkan penghapusan kebijakan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa, salah satunya adalah kewajiban memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Meski telah lahir dan menjadi warga negara Indonesia, mereka tetap dipersulit dalam urusan administrasi akibat aturan ini. Dengan dihapuskannya SBKRI, warga keturunan Tionghoa akhirnya dapat memperoleh hak-haknya sebagai warga negara tanpa diskriminasi.

Perubahan lain yang dilakukan Gus Dur adalah mengganti istilah “Cina” dengan “Tionghoa” dalam penggunaan resmi. Istilah “Cina” kerap kali memiliki konotasi negatif, sehingga pergantian ini menjadi bentuk penghormatan sekaligus pengakuan atas identitas budaya etnis Tionghoa di Indonesia. Keputusan ini semakin memperkuat semangat persatuan dan menegaskan prinsip kesetaraan bagi seluruh warga negara tanpa memandang latar belakang etnis atau kepercayaan mereka.

Imlek: Dari Perayaan Kultural Menjadi Hari Libur Nasional

Perubahan besar lainnya terjadi pada tahun 2003, ketika Presiden Megawati Soekarnoputri menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional. Keputusan ini tidak lepas dari inisiatif Gus Dur yang telah membuka jalan sebelumnya. Sejak itu, perayaan Imlek tidak lagi hanya menjadi peristiwa komunitas Tionghoa, tetapi juga bagian dari identitas kebudayaan nasional Indonesia.

Kini, perayaan Imlek disambut dengan meriah oleh berbagai lapisan masyarakat. Tidak hanya etnis Tionghoa yang merayakan, tetapi juga masyarakat dari berbagai latar belakang, menunjukkan bahwa keberagaman adalah kekayaan yang memperkuat Indonesia.

Warisan Gus Dur: Toleransi dan Kasih Sayang

Apa yang dilakukan Gus Dur lebih dari sekadar pencabutan larangan perayaan Imlek. Ia meninggalkan warisan tentang pentingnya kemanusiaan, toleransi, dan kasih sayang. Ia selalu menekankan bahwa setiap manusia, apa pun latar belakangnya, harus diperlakukan dengan adil dan bermartabat.

Bagi Gus Dur, persatuan Indonesia bukanlah tentang keseragaman, melainkan tentang kemampuan untuk hidup berdampingan dalam keberagaman. Ia mengajarkan bahwa perbedaan suku, agama, dan budaya bukanlah alasan untuk terpecah, tetapi justru menjadi alasan untuk saling memahami dan menghormati.

Salah satu kutipan terkenalnya yang terus dikenang adalah:

“Tidak penting apapun agamamu atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu.”

Hingga hari ini, Gus Dur dikenang sebagai Bapak Pluralisme Indonesia, seorang pemimpin yang tidak hanya berbicara tentang toleransi, tetapi juga menghidupkannya dalam tindakan nyata.

Saat kita merayakan Imlek dengan penuh kegembiraan, mari kita ingat bahwa kebebasan ini adalah hasil dari perjuangan panjang yang dimulai oleh seorang pemimpin yang percaya bahwa setiap orang berhak hidup dengan martabat dan kebebasan.

Selamat Imlek! Gong Xi Fa Cai! Semoga semangat persaudaraan dan kasih sayang selalu menyertai Indonesia.

Janu Wisnanto

Janu Wisnanto

About Author

Penulis partikelir pojokan Sleman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Jangan ketinggalan Update dari kami

    Kami akan mengirimkan anda update terbaru dari Layanglayang Merah.

    LLM @2024. All Rights Reserved. | Developed with love ISW