Aku yakin, di dunia ini ada satu hukum sosial yang tidak tertulis, tapi terbukti nyata: Grup WhatsApp alumni itu lebih sering sepi dibanding rumah kosong peninggalan Belanda. Tapi coba deh masuk bulan Ramadan, tiba-tiba grup itu bangkit dari kubur. Mirip zombie, tapi lebih mengerikan karena mereka tidak mengejar otak, melainkan list nama peserta buka bersama.
Sejujurnya, aku heran. Setiap tahun, pola ini selalu sama. Selama 11 bulan, grup WA alumni SMP dan SMA seperti kuburan tanpa nisan. Yang ada hanya riwayat pesan terakhir dari tahun lalu, biasanya berbunyi:
“Mantap bukbernya, tahun depan harus lebih ramai lagi!”
“Guys, nanti kita buat acara yang lebih niat ya!”
“Makasih buat panitia, sukses selalu!”
Tapi begitu Ramadan tiba, entah ada angin apa, tiba-tiba muncul satu chat yang langsung membangunkan orang-orang yang sebelumnya hanya jadi silent reader:
“Gais, bukber tahun ini jadi kan?”
Braaak! Seperti komando perang, satu per satu anggota grup mulai muncul dari persembunyiannya. Bahkan nama-nama yang selama ini tidak pernah muncul, yang kita kira sudah ganti nomor atau bahkan ganti kewarganegaraan, tiba-tiba mengetik:
“Gas lah!”
“Kapan nih?”
“Jangan pas weekdays dong, susah izin bos”
“Yang penting jangan mahal-mahal”
Lalu, tanpa sadar, grup yang tadinya bisu mendadak jadi arena diskusi paling ramai sedunia. Orang-orang yang selama ini hanya memantau dari kejauhan tiba-tiba jadi sangat vokal. Seakan-akan mereka menyimpan jatah bicara selama setahun penuh, lalu dikeluarkan dalam semalam.
Ritual Tahunan yang Penuh Drama
Tentu saja, seperti layaknya bukber alumni, ada beberapa tahapan yang selalu terjadi:
Rapat Konsolidasi ala DPR
Setelah ramai di awal, masuklah ke fase pemilihan tanggal. Dan di sinilah perpecahan dimulai.
“Weekend aja, biar santai.”
“Jangan Sabtu, aku ada kondangan.”
“Minggu aja.”
“Minggu mah buat keluarga, Senin aja.”
“Senin? Itu hari kerja, goblok!”
Akhirnya, setelah debat panjang yang lebih alot daripada sidang kabinet, dipilihlah satu tanggal yang tidak benar-benar disepakati semua orang, tapi dipaksakan demi kelangsungan acara.
Pemilihan Tempat: Makan Apa yang Murah Tapi Enak?
Nah, ini juga selalu jadi masalah. Ada yang maunya di restoran mewah, ada yang cari tempat yang murah meriah, dan ada yang pengen di warteg sekalian karena katanya lebih ‘membumi’.
Hasilnya? Rapat susulan. Karena harus ada yang survei tempat, tanya harga paket berbuka, dan memastikan tidak ada minimal spending yang bikin kantong jebol.
Konfirmasi Kehadiran yang Penuh Kebohongan
Setelah tempat dan tanggal fix, tiba saatnya mengisi daftar hadir. Biasanya panitia bikin Google Form atau cukup polling di grup.
Tapi percayalah, jumlah yang daftar dan yang datang itu beda jauh!
Biasanya gini:
Yang ketik “InsyaAllah hadir” = 50% kemungkinan gak datang.
Yang ketik “Hadir 100%” = tetap bisa batal kalau tiba-tiba ada deadline kantor.
Yang ketik “Lihat nanti ya” = sudah dipastikan tidak akan datang.
Pada akhirnya, dari 30 orang yang semangat di awal, yang benar-benar datang hanya 7 orang. Itu pun dua di antaranya telat karena alasan “macet” (padahal baru bangun tidur).
Reuni yang Penuh Basa-basi dan Pamer Terselubung
Saat hari H, suasana mulai canggung. Lama tak bertemu, obrolan awal pasti standar:
“Eh, sekarang kerja di mana?”
“Udah nikah belum?”
“Anak udah berapa?”
Lalu, dimulailah sesi pamer terselubung. Ada yang cerita soal bisnisnya yang sukses, ada yang cerita soal kerjaannya di perusahaan besar, ada yang pamer mobil baru, dan ada yang hanya bisa tersenyum sambil menyesap es teh karena tidak punya prestasi apa pun.
Tapi bagian paling menyebalkan adalah si tukang foto. Dia yang sibuk mengatur formasi, menyuruh semua orang merapat, lalu berteriak:
“Ayo foto dulu, buat di grup! Biar yang gak datang nyesel!”
Padahal kita semua tahu, yang gak datang itu gak nyesel. Mereka justru bahagia karena tidak perlu terjebak dalam obrolan yang penuh basa-basi dan dompet yang lebih aman tanpa harus patungan bill yang seringkali tidak adil.
Bukber Itu Tradisi atau Formalitas?
Pada akhirnya, bukber alumni ini adalah sebuah fenomena sosial yang unik. Kita menghidupkan grup WA yang mati suri hanya untuk satu hari dalam setahun, lalu membiarkannya kembali sepi sampai tahun depan.
Entah ini tradisi atau hanya formalitas, yang jelas bukber selalu jadi ajang menguji kesabaran: mulai dari menentukan tanggal, memilih tempat, sampai menahan diri untuk tidak kesal karena banyak yang batal datang.
Tapi setidaknya, di balik segala keribetan ini, ada satu hal yang bisa kita syukuri: setidaknya kita masih ingat kalau kita pernah berteman.
Sampai jumpa tahun depan, di bukber yang (lagi-lagi) penuh drama!