Anak Muda Cangkruk Opini

Bos, Apakah Anda Tahu Bahwa Staf Idola Anda Ini Sudah Tidak Pegang Uang Lagi?

Bos yang terhormat,
Sebelum saya menulis lebih jauh, izinkan saya bertanya satu hal sederhana: Apakah Bos pernah merasakan gajian di pagi hari dan bangkrut sebelum matahari terbenam?

Jika belum, selamat. Itu berarti Bos berada di sisi kehidupan yang menyenangkan. Sisi di mana angka di rekening masih memiliki bobot dan keputusan makan siang bukan ditentukan oleh saldo e-wallet yang sekarat.

Tapi saya, Bos… Saya tidak berada di sisi itu. Saya berada di sisi kehidupan di mana setiap awal bulan adalah festival keuangan yang hanya berlangsung beberapa jam.

Jadi, Bos, apakah Anda tahu bahwa staf idolanya ini sudah tidak pegang uang lagi?

Dulu Aku Punya Uang, Sekarang Aku Hanya Punya Ingatan

Zaman dulu, ketika gaji masih terasa seperti harta karun dan harga-harga belum seganas ini, saya masih bisa menikmati hidup. Saya bisa mampir ke coffee shop, memesan es kopi susu tanpa harus melihat menu sambil menghitung sisa saldo. Saya bisa menonton bioskop tanpa harus mengecek promo buy one get one. Saya bisa pergi ke supermarket dan mengambil barang tanpa harus kalkulasi di kepala setiap kali mengambil sesuatu dari rak.

Tapi sekarang?

Sekarang saya masuk minimarket hanya untuk menikmati dinginnya AC. Saya berdiri di depan etalase ayam goreng, bukan untuk membeli, tapi sekadar merasakan kehangatannya dari balik kaca. Saya tidak lagi makan siang di warung, tapi lebih sering mengandalkan kreativitas—menemukan cara baru untuk mengenyangkan perut dengan modal pas-pasan.

Saya bukan lagi manusia yang menikmati uang, saya adalah manusia yang mengenang bagaimana rasanya punya uang.

Salam Hormat untuk Tagihan yang Tak Pernah Terlambat

Bos, tahukah Anda siapa yang paling setia dalam hidup saya? Bukan teman (karena mereka juga sibuk bertahan hidup), tapi tagihan.

Listrik, air, internet, cicilan motor, BPJS, semuanya datang tepat waktu, tanpa pernah lupa. Mereka lebih konsisten daripada hubungan percintaan anak muda zaman sekarang.

Tanggal 1: Listrik mengetuk.
Tanggal 3: Cicilan motor berbisik pelan.
Tanggal 5: BPJS mengingatkan dengan penuh kasih.
Tanggal 7: Internet mulai mengancam, “Kalau nggak bayar, putus lho.”

Saya terkadang bertanya-tanya, bagaimana tagihan bisa lebih disiplin daripada saya? Kenapa mereka tidak pernah memberi saya kejutan “Bulan ini gratis!” seperti promo marketplace?

Tapi yang lebih menyakitkan dari semua itu adalah kenyataan bahwa mereka tidak bisa ditawar. Anda bisa menawar harga di pasar, tapi tidak dengan tagihan. Mereka adalah hukum alam yang harus ditaati.

Makan Siang yang Tidak Lagi Sama

Bos mungkin masih sering melihat saya makan siang di meja kerja dengan ekspresi bahagia. Tapi apakah Bos tahu bahwa di balik piring nasi yang tampak normal itu, ada drama keuangan yang luar biasa?

Saya kini memiliki skill baru: menghitung porsi makan berdasarkan saldo rekening. Jika saldo masih di atas Rp50.000, saya bisa makan ayam geprek dengan sambal level 5. Jika saldo tinggal Rp20.000, maka opsi yang tersedia hanyalah nasi telur. Jika saldo turun di bawah Rp10.000, saya mulai mempertimbangkan makan mie instan tanpa bumbu, hanya untuk variasi rasa.

Dulu saya memilih makanan berdasarkan selera. Sekarang saya memilih berdasarkan kondisi keuangan.

Dompetku Kini Hanya Museum Kartu Identitas

Saya masih ingat, dulu dompet saya selalu terisi uang kertas dan beberapa lembar receh. Ada rasa bangga setiap kali membuka dompet dan melihat isinya. Tapi sekarang, dompet saya hanya berisi kartu-kartu plastik yang tidak bisa digunakan untuk membeli makan.

Ada KTP yang tidak bisa ditukar dengan nasi padang.
Ada kartu BPJS yang tidak bisa dipakai untuk beli kopi.
Ada kartu ATM yang kalau dimasukkan ke mesin, hanya akan menampilkan angka yang lebih kecil dari ekspektasi hidup saya.

Dompet saya kini bukan lagi tempat menyimpan uang, tapi lebih seperti galeri kenangan akan kejayaan finansial di masa lalu.

Gaji Datang, Hutang Menjemput

Bos mungkin berpikir bahwa gaji yang diberikan setiap bulan cukup untuk membuat staf seperti saya hidup nyaman. Tapi Bos, kenyamanan itu hanya bertahan 24 jam.

Begitu gaji masuk, semua tagihan dan hutang langsung mengambil jatahnya. Saya bahkan tidak punya waktu untuk menikmati angka saldo yang tampak besar.

Pernah saya mencoba membiarkan gaji itu utuh selama sehari, hanya untuk merasakan sensasi “menjadi orang kaya.” Tapi percuma. Tagihan-tagihan itu seperti tahu, mereka menunggu dengan sabar di sudut sana, siap menerkam kapan saja.

Saya seperti jembatan tol—gaji masuk sebentar, lalu keluar dengan cepat.

Ketika Apresiasi Tidak Bisa Membayar Tagihan

Bos mungkin suka memuji saya, “Kamu itu staf terbaik! Kerjamu selalu rapi! Saya bangga sama kamu!”

Tapi Bos, apakah kebanggaan ini bisa membayar segala tagihan?

Apakah apresiasi bisa ditukar dengan bensin?

Apakah tepukan di pundak bisa digunakan untuk membeli makan malam?

Saya tidak ingin terdengar tidak bersyukur, Bos. Saya hanya ingin sedikit realitas. Jika saya memang staf terbaik, mungkin bisa dipertimbangkan kenaikan gaji atau bonus kejutan? Atau setidaknya, traktiran makan siang yang tidak datang hanya saat acara ulang tahun kantor?

Saya tidak meminta banyak, Bos. Saya hanya ingin tahu rasanya makan steak di tanggal tua tanpa harus menghitung sisa saldo e-wallet.

Jadi, Bos, Apakah Anda Tahu?

Apakah Bos tahu bahwa staf idolanya ini sudah tidak pegang uang lagi?

Jika tahu, mungkin Bos bisa sedikit mempertimbangkan kebijakan finansial perusahaan ini. Jika tidak bisa menaikkan gaji, mungkin bisa memberikan fasilitas tambahan. Atau minimal, traktiran makan siang sebulan sekali?

Jika semua itu juga tidak bisa, saya hanya ingin meminta satu hal: jangan beri tugas tambahan tanpa kompensasi.

Saya tidak bisa terus bekerja dengan semangat revolusioner sementara saldo saya terus mengalami penindasan. Saya butuh keadilan ekonomi di dalam dompet saya sendiri.

Jadi, Bos, mari kita bicara. Apakah kita bisa mencapai solusi yang lebih baik, atau saya harus mulai belajar cara hidup hanya dengan makan angin dan minum air putih?

Hormat saya,
Staf yang masih bertahan,
Meski tanpa uang, hanya dengan tekad dan sedikit harapan.

Janu Wisnanto

Janu Wisnanto

About Author

Penulis partikelir pojokan Sleman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Jangan ketinggalan Update dari kami

    Kami akan mengirimkan anda update terbaru dari Layanglayang Merah.

    LLM @2024. All Rights Reserved. | Developed with love ISW