Malam itu, angin berembus kencang di atas menara-menara Kerajaan Durkahana, membawa serta aroma hujan yang menggantung di udara. Di bawah langit yang gelap, obor-obor istana berkedip-kedip, seakan enggan menyaksikan sesuatu yang sedang tumbuh dalam kegelapan. Dalam kesunyian malam, rakyat di desa-desa terpencil mulai berbisik—bisikan yang tak berani diucapkan terang-terangan, hanya berani mengalir dalam bayangan. Mereka berbicara tentang sesuatu yang kembali bangkit, sesuatu yang pernah mencengkeram Durkahana dalam cengkeraman ketakutan: Dwi Ksatria Tunggal.
Di masa lalu, Kerajaan Durkahana pernah berada di bawah kendali para Ksatria Besi, pasukan elite yang awalnya ditugaskan untuk menjaga keamanan negeri. Namun, perlahan-lahan mereka mulai menanamkan pengaruh dalam pemerintahan. Bukan hanya sebagai penjaga, mereka juga menjadi penguasa dalam bayangan, menciptakan kebijakan, mengatur rakyat, dan menyingkirkan siapa pun yang dianggap mengancam kestabilan mereka. Hanya satu perintah yang dibutuhkan—dan orang-orang menghilang tanpa jejak.
Namun, harapan pernah datang ketika raja yang sekarang naik takhta. Rakyat berpikir bahwa era Ksatria Besi telah berakhir. Tapi kini, tanda-tanda yang dulu begitu menakutkan mulai muncul kembali. Ksatria yang seharusnya hanya menjadi penjaga gerbang mulai berbisik di ruang-ruang istana, mulai menempati posisi yang dulu hanya boleh diisi para penasihat raja. Mereka tidak lagi hanya pengawal, tetapi juga pengambil keputusan.
Bangkitnya Ksatria Besi
Di pasar yang biasanya ramai, suasana mulai berubah. Percakapan yang dulu penuh tawa kini dipenuhi kecemasan. Orang-orang berbicara dengan suara rendah, memastikan tak ada telinga lain yang mendengar.
“Pernahkah kalian merasa aneh?” bisik seorang pedagang kain kepada rekan-rekannya. “Kenapa kini para ksatria semakin sering terlihat dalam pertemuan-pertemuan kerajaan?”
Seorang petani menimpali dengan suara lirih, “Aku dengar, mereka sekarang bisa menentukan siapa yang dianggap musuh kerajaan.”
Bisikan-bisikan ini semakin santer ketika suatu hari seorang adipati berdiri di tengah alun-alun kerajaan, menghadap rakyat yang berkumpul dengan wajah penuh tanya.
“Demi stabilitas dan ketertiban negeri,” suaranya menggema di udara yang dingin, “para Ksatria Besi harus kembali mengambil peran lebih besar.”
Kata-kata itu begitu sederhana, tapi juga begitu dingin. Tidak ada yang bersorak, tidak ada yang bersuara, karena di hati rakyat, mereka tahu apa artinya. Sejarah sedang mengulangi dirinya sendiri.
Ketakutan Rakyat yang Beralasan
Rakyat Durkahana tidak hanya takut karena kondisi ini tampak berbahaya, tetapi karena mereka tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ini bukan pertama kalinya kerajaan berjalan di jalur seperti ini.
Dulu, raja pendahulu juga melakukan hal yang sama—memberikan lebih banyak kekuasaan kepada para Ksatria Besi dengan alasan stabilitas dan keamanan. Awalnya, rakyat percaya bahwa keputusan itu akan membawa kemakmuran. Mereka berpikir bahwa negeri akan lebih tertib, lebih kuat, lebih terjaga. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.
Semakin banyak ksatria yang berkuasa, semakin sedikit suara rakyat yang didengar. Pajak meningkat, aturan semakin ketat, dan siapa pun yang dianggap melawan atau bahkan sekadar mempertanyakan kebijakan kerajaan akan dihukum tanpa peringatan. Hasil panen mereka dirampas atas nama kerajaan, dan setiap rumah dipenuhi bisikan ketakutan—siapa yang akan menghilang esok hari?
Sekarang, mereka melihat pola yang sama. Rakyat mulai kesulitan berbicara, pemuda-pemuda yang dulu vokal kini memilih diam, dan pasar yang biasanya penuh dengan obrolan kini dipenuhi dengan tatapan waspada. Tidak ada yang berani bersuara menentang kebijakan baru, karena mereka tahu apa yang bisa terjadi. Mereka telah melihat ini sebelumnya.
Di sebuah kedai teh yang remang-remang, seorang lelaki tua duduk bersama cucunya. Ia menyesap tehnya pelan, lalu berbisik, suaranya hampir tenggelam dalam desiran angin yang masuk melalui jendela.
“Dulu, aku melihat bagaimana Ksatria Besi mengambil alih segalanya,” katanya. “Mereka bukan hanya penjaga, tapi penguasa. Mereka menentukan siapa yang boleh berbicara, siapa yang boleh hidup, siapa yang harus menghilang. Dan ketika ksatria bukan hanya menjadi penjaga, tapi juga penguasa, maka rakyat akan kehilangan suara.”
Sang cucu menatap kakeknya dengan mata yang dipenuhi ketakutan. Ia tidak meragukan cerita itu, tapi kini ia menyadari sesuatu—cerita itu bukan hanya masa lalu. Itu adalah kenyataan yang sedang terjadi lagi.
Di kejauhan, di balik gerbang istana, para Ksatria Besi berdiri tegak. Mata mereka mengamati Durkahana dengan tajam, penuh rencana. Mereka tahu, kerajaan ini semakin berada dalam genggaman mereka. Setiap keputusan, setiap kebijakan, semua akan kembali berada di bawah kendali mereka.
Rakyat? Hanya bidak dalam permainan yang mereka mainkan dengan begitu hati-hati.
Di atas langit Durkahana, awan kelabu menggantung semakin pekat. Angin berembus lebih kencang, seolah membawa pesan dari masa lalu. Bayangan yang sempat menghilang kini merayap kembali, perlahan, pasti, dan siap menelan kerajaan ini dalam cengkeraman kegelapan sekali lagi.