Setiap tahun, sekitar tanggal 10 Dzulhijjah, suasana jadi beda. Ada suara takbir yang menggetarkan hati, bau sate yang menggoda dari berbagai penjuru, dan tentu saja — momen menyembelih hewan kurban. Tapi pernah nggak sih kamu mikir, kenapa sih umat Islam berkurban? Dari mana awalnya? Apa cuma soal daging?
Ternyata, jawabannya lebih dalam dari sekadar potong kambing dan bagi-bagi daging. Di balik tradisi ini, ada kisah yang luar biasa menyentuh — tentang mimpi, tentang keikhlasan, dan tentang cinta yang luar biasa besar pada Tuhan.
Semua Bermula dari Sebuah Mimpi…
Ceritanya bermula ribuan tahun lalu, dari seorang nabi besar yang juga dikenal sebagai Bapak Para Nabi: Nabi Ibrahim AS. Seorang manusia pilihan, yang hidup di masa di mana ketaatan benar-benar diuji secara total.
Suatu malam, Nabi Ibrahim mendapatkan mimpi yang sangat aneh — beliau diperintahkan untuk menyembelih anaknya sendiri, Ismail AS. Bukan sekali, tapi berulang kali. Dan seperti yang kita tahu, mimpi para nabi bukan sembarang mimpi. Itu adalah wahyu, petunjuk langsung dari Allah.
Di titik ini, kita bisa berhenti sejenak dan bertanya ke diri sendiri: Kalau kita yang disuruh begitu, bisa nggak?
Antara Ayah, Anak, dan Langit yang Menyaksikan
Yang bikin kisah ini makin menggetarkan, adalah respons dari Ismail AS. Saat sang ayah mengutarakan isi mimpinya, Ismail nggak marah, nggak nangis, nggak kabur. Justru beliau dengan tenang menjawab:
“Wahai Ayah, lakukanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah, engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Bayangkan, seorang anak yang masih muda, rela menyerahkan dirinya demi menjalankan perintah Allah. Dan sang ayah, dengan hati yang pasti hancur, tetap memilih taat karena percaya penuh pada Tuhannya.
Gagal Disembelih, Tapi Lulus Ujian
Pisau itu tak mempan. Tajamnya hilang seketika.
Langit berseru bahwa Ibrahim dan Ismail telah lulus ujian paling berat dalam hidup manusia: mengorbankan yang paling dicintai demi ketaatan total kepada Tuhan.
Sebagai gantinya, Allah mengirimkan seekor domba dari surga untuk dikurbankan.
Dan sejak hari itulah, kurban menjadi ibadah. Bukan sekadar ritual, tapi simbol cinta, pengorbanan, dan keikhlasan yang sampai sekarang terus dikenang.
Kurban Hari Ini: Masih Tentang Hati
Sekarang, kita nggak perlu menyembelih anak (dan memang dilarang).
Kita hanya “diminta” untuk menyembelih hewan ternak — kambing, sapi, atau unta — sebagai bentuk ketaatan dan rasa syukur kepada Allah.
Tapi esensinya tetap satetap
Kurban bukan soal “pamer hewan paling gede”, bukan ajang siapa paling banyak. Kurban adalah latihan spiritual — belajar memberi, belajar merelakan, dan belajar bahwa berbagi itu indah.
Karena daging yang kamu potong, mungkin hanya bertahan satu atau dua hari di dapur orang lain. Tapi keikhlasanmu bisa jadi bekal abadi yang mendekatkanmu kepada-Nya.
Lebih dari Sekadar Sate
Saat kamu lihat orang-orang motong kambing atau sapi, jangan cuma fokus ke bagian panggul buat sate.
Lihatlah cerita panjang yang dibawa oleh darah yang mengalir itu.
Itu bukan sekadar tradisi turun-temurun, tapi cerminan cinta antara manusia dan Tuhannya. Cinta yang menuntut keberanian untuk memberi — bahkan saat yang harus diberikan adalah sesuatu yang sangat dicintai.
Jadi, Apa yang Mau Kamu Korbankan Tahun Ini?
Nggak semua orang mampu beli hewan kurban. Dan itu nggak apa-apa. Karena kurban bukan soal nominal, tapi niat dan keikhlasan.
Kurban itu bisa juga dalam bentuk:
Menyisihkan waktu untuk membantu orang tua.
Menahan emosi saat ingin marah.
Memberi makanan ke tetangga yang sedang susah.
Atau bahkan, menunda beli sesuatu yang kita pengen, demi bantu orang lain yang lebih butuh.
Kurban adalah tentang melepaskan sedikit dari milik kita untuk membuat dunia jadi sedikit lebih baik.
Penutup: Kurban, Cinta yang Berbekas
Idul Adha bukan cuma soal daging. Tapi soal hati.
Kurban bukan cuma soal menyembelih, tapi soal keberanian untuk ikhlas.
Jadi, sambutlah hari kurban ini dengan hati lapang.
Potong hewanmu dengan niat yang lurus, dan bagikan dagingnya dengan senyum yang tulus.
Karena siapa tahu, daging itu jadi jalan kebaikan — bukan hanya untuk orang lain, tapi juga untuk jiwamu sendiri.
Selamat Idul Adha.
Selamat berkurban.
Semoga Allah menerima setiap tetes cinta yang kita persembahkan — dari tangan, dari hati, dan dari niat terdalam kita.