Jogja selalu punya cara untuk membuat orang jatuh cinta. Kota ini menawarkan nuansa yang sulit ditemukan di tempat lain—kesederhanaan, keramahan, budaya yang kuat, dan tentu saja, kenangan bagi siapa saja yang pernah singgah. Tak heran jika banyak orang bermimpi untuk menetap di sini, berharap bisa menjalani hidup yang lebih tenang dibanding kota-kota besar. Tapi bagi mereka yang lahir, besar, dan bekerja di Jogja, ada dua sisi yang harus dihadapi: romantisme yang membuat banyak orang ingin tinggal di sini dan realitas yang menuntut perjuangan lebih keras.
Dulu, Jogja dikenal sebagai kota dengan biaya hidup murah. Tapi seiring berkembangnya pariwisata dan urbanisasi, harga-harga semakin melambung. Sewa kos yang dulunya bisa didapat dengan Rp500 ribu per bulan, kini di area strategis bisa mencapai Rp1,5 juta hingga Rp2 juta. Makanan di warung masih ada yang murah, tapi di banyak tempat, harga sudah menyesuaikan standar turis. Kota yang dulu tenang kini semakin padat. Macet di perempatan Jalan Kaliurang, antrean panjang di parkiran Malioboro, dan pertumbuhan perumahan yang semakin menjauh dari pusat kota adalah bukti bahwa Jogja bukan lagi kota kecil yang sama seperti satu atau dua dekade lalu.
Bekerja di Jogja juga memiliki tantangannya sendiri. Banyak yang berpikir Jogja adalah tempat yang pas untuk bekerja dengan santai, tapi realitanya, dunia kerja di Jogja penuh perjuangan. Dengan UMR yang hanya Rp2,1 juta—terendah se-Jawa—banyak pekerja yang harus mencari penghasilan tambahan agar bisa hidup layak. Lapangan kerja pun terbatas, sehingga banyak lulusan universitas ternama di Jogja yang akhirnya memilih merantau ke kota lain. Bagi mereka yang tetap bertahan di Jogja, bekerja sebagai freelancer atau menjalankan bisnis kreatif adalah pilihan yang semakin banyak diambil. Namun, persaingannya ketat. Jogja memang kota seni dan budaya, tapi industri kreatif di sini sering kali membayar lebih rendah dibanding kota besar lainnya.
Keadaan sosial ekonomi Jogja juga semakin berubah. Pertumbuhan sektor pariwisata yang pesat memang membawa keuntungan bagi sebagian orang, tapi juga menimbulkan ketimpangan. Banyak lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi hotel dan kafe, sementara pekerja lokal masih bergaji rendah. Harga tanah dan properti melonjak tinggi, membuat anak muda asli Jogja semakin sulit untuk membeli rumah di kota kelahirannya sendiri. Sementara itu, UMKM berjuang di tengah persaingan dengan bisnis-bisnis besar yang semakin banyak bermunculan. Jogja masih dikenal sebagai kota ramah dan murah, tapi bagi warganya sendiri, bertahan hidup di sini menjadi tantangan tersendiri.
Namun, meskipun kenyataan tidak selalu seindah bayangan, bukan berarti kita tidak bisa menemukan kebahagiaan di dalamnya. Jogja memang berubah, tapi masih punya banyak hal yang bisa dinikmati—senja di Bukit Bintang, kopi di sudut-sudut kota, obrolan santai dengan teman di angkringan, atau sekadar berjalan di kampung-kampung yang masih mempertahankan suasana khasnya. Jogja bukan hanya soal biaya hidup, tapi juga tentang nilai-nilai yang membuatnya tetap istimewa: kebersamaan, keramahan, dan kehidupan yang tidak selalu harus tergesa-gesa.
Bagi anak muda Jogja, tantangan ini bukan alasan untuk menyerah. Kita bisa tetap berkembang di kota ini, mencari cara untuk bertahan, beradaptasi, dan menciptakan peluang baru. Jika gaji rendah menjadi masalah, maka mencari pekerjaan sampingan atau membangun bisnis sendiri bisa menjadi solusi. Jika lapangan kerja terasa sempit, maka meningkatkan keterampilan bisa membuka pintu ke kesempatan yang lebih luas, baik di dalam maupun di luar Jogja. Jogja mungkin tidak lagi semurah dan sesederhana dulu, tapi dengan sikap yang tepat, kita masih bisa menjadikannya tempat yang nyaman untuk berkarya dan berkembang.
Dan pada akhirnya, mencintai sebuah kota bukan hanya tentang menikmati romantismenya, tetapi juga tentang bagaimana kita berdamai dengan realitasnya. Seperti halnya hidup, kota pun terus berubah—dan kita yang tinggal di dalamnya harus siap tumbuh bersama perubahan itu.