Januari penuh semangat. Februari masih berusaha kuat. Maret mulai terengah-engah. April? Air mata mulai menetes.
Begitulah siklus kehidupan. Bulan-bulan terus berputar, tapi saldo rekening tetap konsisten di bawah garis kemiskinan. Jika ada satu hal yang lebih menyayat hati dari drama Korea, itu adalah akhir bulan. Sebuah momen di mana semua orang, tanpa terkecuali, bersatu dalam kesedihan.
Ini bukan sekadar fenomena biasa. Ini adalah tragedi sosial yang berulang setiap 30 hari sekali. Tidak peduli siapa kamu—pekerja kantoran, penulis lepas, mahasiswa, atau pedagang online—semua akan sampai pada titik ini: tatapan kosong ke layar mobile banking yang sunyi senyap.
Lalu, diikuti dengan pertanyaan klasik:
“Kenapa duit ini cepat sekali menghilang?”
“Aku kerja keras, tapi kok tetap sengsara?”
“Kenapa nasi kecap terasa lebih asin? Oh, ternyata itu air mataku sendiri.”
Tangisan Pertama: Dompet Kosong, Hati Hancur
Di awal bulan, kita semua merasa kaya. Gaji atau invoice cair, dompet tebal, dan dunia terasa penuh kemungkinan.
“Geprek mozzarella? Gas!”
“ShopeePay lagi cashback? Beli ah, mumpung murah!”
“Akhir pekan staycation dong, biar otak fresh!”
Hari-hari itu, kita melangkah dengan penuh percaya diri. Ke warung makan, ke minimarket, ke kafe, seolah-olah tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tapi, perlahan kenyataan mulai datang.
Saldo mulai menipis. Pengeluaran mulai sulit dipahami.
“Kemarin kayaknya masih ada sejuta deh, kok sekarang tinggal lima puluh ribu?”
Lalu datanglah momen mengecek history transaksi. Awalnya optimis, tapi semakin di-scroll ke bawah, semakin ingin menangis.
Ternyata semua uang itu habis untuk hal-hal sepele:
Jajan kopi karena malas bikin sendiri.
Beli gorengan tiap sore karena lapar mata.
Langganan streaming padahal film yang ditonton cuma itu-itu saja.
Checkout barang diskonan yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan.
Hasil akhirnya? Dompet kosong, hati hancur.
Tangisan Kedua: Invoice Tak Kunjung Cair
Freelancer, pekerja harian, dan korban klien PHP bersatu dalam penderitaan. Semua punya satu pertanyaan yang sama:
“Katanya cair minggu ini, tapi minggu ini yang mana?”
Setiap notifikasi WhatsApp membuat jantung berdegup kencang. Tapi bukan transferan yang datang, melainkan broadcast promo Alfamart:
“Beli dua kopi instan, gratis satu!”
Gratis satu? Kami butuhnya gratis semua!
Momen paling menyedihkan adalah saat akhirnya memberanikan diri chat klien:
“Halo, Kak! Gimana kabarnya? By the way, invoice saya sudah bisa diproses, kan? Hehe.”
Jawabannya?
“Oh iya, aku follow up dulu ya!”
Dan setelah itu? Hening.
Tangisan pun pecah.
Ada freelancer yang mulai mempertimbangkan karier baru.
“Mungkin aku harus jadi seleb TikTok? Jadi barista? Atau jualan cireng di pinggir jalan?”
Namun, sebelum keputusan besar dibuat, klien akhirnya membalas:
“Maaf ya, Kak, keuangan kantor lagi agak seret. Bisa ditunggu sampai minggu depan?”
Dan kita hanya bisa tersenyum pahit sambil mengetik:
“Oke, Kak. Nggak apa-apa kok. Hehe.”
Padahal, di dalam hati? Robek.
Tangisan Ketiga: Makanan yang Semakin Minimalis
Awal bulan: Bisa pesan makanan lewat aplikasi.
Pertengahan bulan: Masak sendiri, lumayan lebih hemat.
Akhir bulan: Menyusun strategi bertahan hidup.
Sarapan? Air putih.
Makan siang? Mie rebus tanpa telur.
Makan malam? Tidur lebih awal biar nggak lapar.
Di momen seperti ini, makanan bukan soal rasa, tapi soal keberadaan. Apa pun yang ada di dapur, itu yang dimakan.
Nasi dengan garam? Enak.
Roti kadaluarsa? Bisa lah, asal jangan sampai jamuran.
Mie instan diremukkan dan dimakan mentah? Krispi.
Supermarket yang dulu jadi tempat belanja kini hanya jadi lokasi wisata. Kita berjalan pelan di lorong makanan, melihat harga-harga yang tak terjangkau, lalu pergi dengan mata berkaca-kaca.
Bahkan di warung, kita mulai pakai strategi klasik: pura-pura sibuk memilih, lalu beli yang paling murah.
“Tahu goreng satu aja, Bu.”
Satu. Satu biji tahu. Bukan karena nggak lapar, tapi karena hanya itu yang bisa dibeli.
Tangisan Keempat: Tagihan yang Menghantui
Listrik? Jatuh tempo.
WiFi? Mau diputus.
Cicilan? Sudah masuk masa ancaman.
SMS dari provider makin menyesakkan dada.
“Yth. Pelanggan, pembayaran Anda telah melewati batas waktu. Jika tidak segera dilunasi, layanan akan dihentikan.”
Nada pesannya sopan, tapi terasa seperti pukulan ke hati.
Tangisan makin pecah ketika sadar bahwa satu-satunya hiburan di akhir bulan ini adalah rebahan, merenungi kehidupan, dan berharap tiba-tiba jadi sultan tanpa sebab.
Tangisan Kelima: Saling Menatap dengan Mata Basah
Di jalanan, di kantor, di grup WhatsApp, semua orang tiba-tiba jadi lebih sensitif. Tidak ada yang bicara soal rencana jalan-jalan atau beli barang. Semua hanya bertukar tatapan penuh pengertian.
Di warung kopi, seseorang menyeruput kopi hitamnya pelan sambil berkata, “Bulan depan pasti lebih baik.”
Yang lain mengangguk, menahan air mata.
Bahkan tukang parkir yang biasanya ceria ikut murung, karena tahu kalau orang-orang lagi bokek, jangankan bayar parkir, beli bensin saja pakai recehan sisa.
Di grup chat, teman-teman mulai membagikan meme sedih tentang akhir bulan. Semua tertawa, tapi dalam hati menangis.
Hujan Air Mata, Tapi Tetap Hidup
Pada akhirnya, kita semua tetap bertahan. Karena meskipun akhir bulan menyakitkan, kita tahu bahwa awal bulan akan datang lagi.
Dan setelah gaji atau invoice cair, siklus ini akan terulang. Karena manusia memang tidak pernah belajar.