Budaya Opini

Mohon Maaf, Tidak Ada Foto Keluarga di Lebaran Ini

Lebaran tahun ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, aku tidak punya foto keluarga yang bisa diunggah di media sosial. Tidak ada potret seragam baju Lebaran yang senada, tidak ada pose rapi di depan rumah dengan senyum yang dipaksakan agar terlihat harmonis, dan tidak ada momen “ayo cepet kumpul sebelum makanan habis!” yang sering terjadi di banyak keluarga. Tapi jangan salah paham—keluargaku harmonis dan bahagia kok. Kami hanya memang tidak punya kebiasaan untuk berfoto bersama saat Lebaran.

Di hari yang fitri ini, ada banyak cara orang merayakan kebersamaan. Ada yang menciptakan kenangan dengan mengabadikannya dalam jepretan kamera, ada yang membiarkan momen mengalir tanpa repot mencari angle terbaik. Keluargaku termasuk yang kedua. Kami menikmati Lebaran dengan cara kami sendiri, tanpa harus mengabadikannya dalam bentuk visual yang bisa dikonsumsi publik.

Bukan Berarti Tidak Bahagia

Beberapa teman bertanya, “Kok nggak ada foto keluarga sih?” Seolah-olah tanpa foto, kebersamaan itu tidak pernah terjadi. Seolah-olah tanpa unggahan di Instagram atau WhatsApp Story, kebahagiaan itu tidak nyata. Padahal, bagi kami, kebahagiaan itu ya dirasakan, bukan sekadar ditampilkan. Kami tidak menolak fotografi, kami hanya tidak terbiasa menjadikan kamera sebagai saksi utama setiap kebersamaan. Apakah ini salah? Tentu tidak.

Kami tetap bercengkerama, tetap bercanda, tetap saling menyindir dengan cara yang penuh kasih. Kami tetap menyantap hidangan khas Lebaran, tetap berlebaran dari rumah ke rumah, tetap tertawa sampai perut sakit karena lelucon receh Bapak yang terus diulang sejak aku masih kecil. Semua berjalan seperti biasa, hanya saja tanpa jeda untuk berkata, “Sebentar, ayo foto dulu!”

Kenangan yang Tak Terlihat, Tapi Selalu Terasa

Di era ketika setiap momen harus didokumentasikan agar dianggap nyata, aku justru merasa lebih bersyukur menikmati semua tanpa terburu-buru mengabadikannya. Ada keindahan dalam membiarkan ingatan merekam kenangan, bukan kamera. Ada haru dalam melihat senyum ibu tanpa harus memastikan ekspresi itu sempurna di layar ponsel. Ada kehangatan dalam pelukan kakak tanpa harus buru-buru menarik diri demi mengambil selfie.

Bukan berarti aku anti dengan mereka yang berfoto bersama keluarga saat Lebaran. Itu sah-sah saja. Aku paham, ada yang berfoto karena jarang berkumpul, ada yang ingin memastikan kenangan bisa dilihat kembali di masa depan. Setiap orang punya cara sendiri dalam merayakan momen berharga. Tapi, izinkan aku menikmati versiku sendiri—meresapi semuanya tanpa layar sebagai perantara.

Apakah Tanpa Foto, Kebersamaan Itu Tidak Nyata?

Di antara tumpukan foto yang kita simpan di galeri ponsel, berapa banyak yang benar-benar kita lihat lagi? Berapa banyak yang hanya berakhir sebagai penghias media sosial, untuk kemudian dilupakan seiring berjalannya waktu? Terkadang, kita terlalu sibuk menciptakan kenangan yang bisa dilihat orang lain, sampai lupa benar-benar menikmatinya.

Aku ingat pernah menghadiri sebuah acara keluarga di mana semua orang sibuk berfoto. Momen kebersamaan yang seharusnya penuh kehangatan justru terasa seperti sesi pemotretan massal. Anak-anak diminta tersenyum meski sudah bosan, orang tua diminta berdiri lebih dekat agar terlihat akrab, dan ketika akhirnya foto didapatkan, semua kembali sibuk dengan ponselnya masing-masing. Kebersamaan terasa seperti formalitas, bukan keintiman.

Itulah mengapa aku memilih untuk tidak terlalu terobsesi dengan foto keluarga saat Lebaran. Aku ingin menikmati suara tawa yang lepas, bukan hanya melihatnya dalam bentuk digital. Aku ingin mengingat bagaimana Ibu menepuk pundakku dengan lembut saat mengucapkan maaf, bukan hanya melihatnya dalam gambar yang beku. Aku ingin merasakan haru saat sungkem kepada orang tua, bukan hanya mengabadikannya agar bisa dipamerkan ke orang lain.

Tidak Ada Foto, Tapi Ada Cerita

Jadi, mohon maaf, tidak ada foto keluarga di momen Lebaran ini. Tapi ada cerita. Ada tawa yang tidak bisa ditangkap kamera, ada obrolan panjang yang lebih berharga daripada sekadar unggahan media sosial. Ada kehangatan yang tidak butuh filter atau editan agar terlihat lebih sempurna.

Aku tidak menyalahkan mereka yang ingin mengabadikan kebersamaan dalam bentuk foto. Silakan, jika itu membuat kalian bahagia. Tapi aku memilih menikmati Lebaran dengan cara yang lebih sederhana—dengan membiarkan kenangan melekat di hati, bukan hanya di layar.

Dan siapa tahu, mungkin suatu hari nanti, di masa tua, aku akan menyesal karena tidak memiliki cukup foto untuk dikenang. Tapi saat itu, aku yakin aku masih bisa tersenyum, karena tahu bahwa di setiap momen yang tidak terekam kamera, aku benar-benar hidup dan menikmatinya sepenuh hati.

Selamat Lebaran, teman-teman. Mau ada foto atau tidak, semoga kebersamaan kita tetap nyata, tetap hangat, dan tetap bermakna.

Janu Wisnanto

Janu Wisnanto

About Author

Penulis partikelir pojokan Sleman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Jangan ketinggalan Update dari kami

    Kami akan mengirimkan anda update terbaru dari Layanglayang Merah.

    LLM @2024. All Rights Reserved. | Developed with love ISW