Anak Muda Cangkruk

Mokel dan Kenyataan Pahit Bahwa Kita Lemah

Di bulan suci ini, ada satu kata yang sering terdengar di kalangan orang-orang yang imannya naik-turun seperti sinyal HP di pedalaman: mokel. Sebuah istilah lokal yang terdengar santai, tetapi sesungguhnya menyimpan makna tragis: menyerah di siang bolong.

Mokel ini bukan hanya sekadar tindakan membatalkan puasa sebelum azan Magrib berkumandang, tetapi juga lambang betapa lemahnya kita sebagai manusia. Bayangkan, kita sudah dilatih sejak kecil untuk menahan lapar dan haus dari subuh sampai magrib, tapi tetap saja, setiap Ramadan selalu ada yang tumbang di tengah jalan.

Kenapa? Karena ternyata kita lemah.

Mokel, Bukti Bahwa Kita Tidak Kuat

Mari kita jujur. Mokel bukanlah keputusan yang diambil dengan sembarangan. Ada proses panjang sebelum seseorang memutuskan untuk menyerah. Biasanya dimulai dengan bisikan setan yang entah kenapa masih eksis di bulan Ramadan:

“Udah deh, minum aja dikit. Kan nggak ada yang lihat.”

Lalu kita mulai bernegosiasi dengan diri sendiri.

“Kalau aku minum seteguk, terus aku lanjut puasa lagi, itu masih sah nggak ya?”

Dari sekadar pemikiran, lalu bergeser ke tindakan. Mulai dari meneguk segelas air putih, lalu berlanjut ke gorengan di meja makan, tahu-tahu satu porsi nasi padang tandas.

Pada titik ini, kita harus mengakui kenyataan pahit: kita memang lemah. Cuma disuruh menahan lapar dan haus selama beberapa jam, langsung menyerah. Padahal para leluhur kita dulu bisa bertahan hidup di tengah hutan, tanpa aplikasi ojek online, tanpa kulkas, tanpa kipas angin.

Sementara kita? Belum jam 12 siang, sudah rebahan di lantai, pegang perut sambil meratapi nasib, seperti korban peperangan.

Dalih Klasik Para Pemokel

Yang paling lucu adalah alasan yang selalu dipakai oleh para pemokel. Berikut beberapa dalih klasik yang sering muncul:

“Aku sakit, harus minum obat.”

Ini alasan paling sering dipakai. Sakit kepala dikit? Mokel. Mual dikit? Mokel. Padahal kalau bukan bulan puasa, sakit kepala dikit langsung lanjut main game atau scroll TikTok tanpa masalah.

“Tadi nggak sahur, jadi nggak kuat.”

Lha, terus puasa itu syaratnya harus sahur dulu? Memangnya ada fatwa yang bilang kalau nggak sahur boleh mokel?

“Cuacanya panas banget, sumpah.”

Panas atau dingin, kalau memang niat, ya jalan terus. Kalau panas dikit langsung mokel, terus gimana caranya kita bisa bertahan kalau suatu hari nanti terdampar di gurun pasir?

“Daripada aku pingsan, mending mokel.”

Padahal sejauh ini, hampir tidak ada laporan resmi tentang orang yang meninggal karena puasa sehari penuh. Yang ada malah orang meninggal karena kebanyakan makan pas buka.

Kita Terlalu Manja

Kita hidup di zaman modern dengan segala kemudahan. Makanan tersedia di mana-mana, air bisa tinggal putar keran, dan hiburan bisa diakses dari genggaman tangan. Tapi tetap saja, menahan lapar dan haus selama beberapa jam rasanya seperti ujian hidup paling berat.

Sementara itu, di belahan dunia lain, ada orang-orang yang memang tidak punya pilihan selain lapar setiap hari. Mereka bukan puasa karena ibadah, tapi karena memang tidak ada makanan.

Tapi kita? Hidup nyaman, punya kulkas penuh makanan, tapi tetap menyerah hanya karena beberapa jam tanpa nasi.

Mokel dan Pelajaran Hidup yang Harus Kita Renungkan

Jadi, apakah mokel itu dosa? Ya, bagi yang tidak ada uzur. Tapi lebih dari itu, mokel adalah cerminan kelemahan kita sebagai manusia modern.

Kita harus jujur pada diri sendiri. Kalau menahan lapar dan haus saja kita kesulitan, bagaimana kita bisa menghadapi tantangan hidup yang lebih besar?

Bagaimana kita bisa menyelesaikan skripsi kalau cuma menahan laper aja nyerah?
Bagaimana kita bisa sukses kalau cobaan dikit langsung tumbang?
Bagaimana kita bisa memperjuangkan revolusi kalau nahan laper aja nggak kuat?

Jadi, mari kita kuatkan diri. Ramadan bukan sekadar menahan lapar dan haus, tapi juga latihan menghadapi hidup. Kalau bisa tahan godaan mokel, siapa tahu nanti juga bisa tahan godaan mantan.

Dan ingat, kalau kamu tergoda untuk mokel, tanyakan pada diri sendiri: “Masa iya aku setengah hari aja nggak kuat?”

Janu Wisnanto

Janu Wisnanto

About Author

Penulis partikelir pojokan Sleman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Jangan ketinggalan Update dari kami

    Kami akan mengirimkan anda update terbaru dari Layanglayang Merah.

    LLM @2024. All Rights Reserved. | Developed with love ISW