Kiri

Anarkiyah Minal Iman: Ketika Iman Berpadu dengan Perlawanan

Di tengah kegaduhan dunia yang makin tidak waras, sebagian dari kita masih sibuk mencari jawaban: bagaimana seharusnya iman diterjemahkan dalam kehidupan sosial-politik? Apakah cukup berhenti pada ritual? Atau ia harus meluap menjadi tindakan nyata?

Lalu muncullah sebuah gagasan yang berani, menampar, namun sekaligus menggelitik: Anarkiyah Minal Iman—anarki adalah bagian dari iman.

Anarki dan Iman, Musuh atau Saudara Kandung?

Sekilas, menyandingkan anarki dengan iman terasa seperti menabrakkan dua kutub yang bertentangan. Bukankah anarki itu tentang kekacauan, pemberontakan, dan penolakan terhadap otoritas? Sementara iman sering dimaknai sebagai kepasrahan dan ketundukan?

Di sinilah letak persoalannya. Kata ‘anarki’ sering kali dipahami secara serampangan. Anarki bukan sekadar ‘tidak ada aturan,’ tetapi sebuah tatanan yang menolak segala bentuk otoritarianisme yang menindas. Sementara iman, jika ditilik dari akar perjuangannya, justru adalah alat pembebasan.

Lihatlah bagaimana para nabi dan rasul dalam sejarah selalu hadir sebagai perlawanan terhadap sistem yang dzalim. Musa melawan Firaun, Isa berhadapan dengan penguasa Romawi, dan Muhammad menentang oligarki Quraisy. Mereka tidak duduk manis menunggu keajaiban, tetapi bertindak untuk membebaskan manusia dari belenggu ketidakadilan.

Maka, kalau ada yang bilang anarki bertentangan dengan iman, bisa jadi ia lupa bahwa iman yang hanya dijadikan alat untuk pasrah pada keadaan sebenarnya bukan iman, melainkan penjinakan massal.

Iman yang Membebaskan, Bukan Memenjara

Dalam pergerakan, iman tidak boleh berhenti sebagai doa-doa yang tak berujung aksi. Ada perintah ‘iqra’ (bacalah), yang semestinya tak hanya diterjemahkan sebagai membaca kitab suci, tetapi membaca realitas sosial, membaca penderitaan rakyat, membaca kesewenang-wenangan yang dibiarkan merajalela.

Di sini, Anarkiyah Minal Iman menegaskan bahwa iman yang sejati bukanlah iman yang membelenggu, melainkan yang membebaskan. Bukan iman yang tunduk pada status quo, tetapi yang berani menentangnya.

Bayangkan sebuah sistem di mana agama justru digunakan untuk menundukkan manusia, membuat mereka takut melawan penindasan dengan dalih ‘sudah takdir,’ ‘sabar saja,’ atau ‘nanti dapat balasan di akhirat.’ Ini bukan iman, ini candu yang diberikan oleh mereka yang berkepentingan.

Seorang mukmin yang sejati tidak hanya beribadah secara vertikal, tetapi juga horizontal—menolak segala bentuk penindasan, menyuarakan kebenaran, dan merawat solidaritas. Kalau tidak, apa bedanya iman dengan kepasrahan buta?

Mengapa ‘Anarkiyah Minal Iman’ Relevan Hari Ini?

Hari ini, dunia semakin dikontrol oleh segelintir orang. Negara-negara dipimpin oleh oligarki, hukum sering menjadi alat pembungkam, dan agama kerap dijadikan alat legitimasi kekuasaan. Dalam kondisi semacam ini, keimanan yang tidak melahirkan perlawanan sama saja dengan menyerah pada sistem yang ada.

Konsep Anarkiyah Minal Iman hadir sebagai respons atas keadaan ini. Ini adalah seruan untuk berani berpikir dan bertindak. Sebab iman yang pasif hanya akan menjadikan kita budak, bukan manusia merdeka.

Ketika kebijakan negara makin menindas, harga-harga melambung, tanah-tanah rakyat dirampas, buruh diperas, dan para elit bersekongkol demi kepentingan sendiri—di saat itulah, iman harus berbicara dalam bentuk yang lebih nyata.

Perlawanan sebagai Bagian dari Ibadah

Kalau salat adalah komunikasi vertikal dengan Tuhan, maka perlawanan adalah komunikasi horizontal dengan sesama manusia. Menyuarakan hak rakyat yang dirampas, menolak eksploitasi, dan membela mereka yang lemah adalah bentuk ibadah yang tak kalah penting.

Maka, siapa pun yang merasa beriman, tapi masih diam saat ketidakadilan terjadi di depan mata, ada baiknya bertanya: apakah imanku masih berfungsi, atau sudah dimatikan oleh ketakutan?

Menutup dengan Tantangan

Menjadi bagian dari Anarkiyah Minal Iman bukan berarti menjadi perusuh yang membabi buta. Ini bukan sekadar melawan, tetapi membangun dunia yang lebih adil tanpa harus tunduk pada sistem yang menindas.

Pertanyaannya sekarang: apakah kita masih nyaman dengan iman yang dijinakkan? Atau sudah siap mengambil jalan iman yang lebih berani?

Sebab kalau iman hanya membuat kita diam, mungkin kita hanya sedang tunduk pada ketakutan, bukan pada kebenaran.

Janu Wisnanto

Janu Wisnanto

About Author

Penulis partikelir pojokan Sleman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Jangan ketinggalan Update dari kami

    Kami akan mengirimkan anda update terbaru dari Layanglayang Merah.

    LLM @2024. All Rights Reserved. | Developed with love ISW