Suatu malam, handphone-ku bergetar. Notifikasi dari grup WhatsApp teman-teman seperjuangan di masa kuliah muncul di layar. Seperti biasa, obrolan di grup itu dimulai dengan basa-basi khas, menanyakan kabar, pekerjaan, atau sekadar berbagi cerita tentang keseharian. Percakapan pun semakin panjang, berlarut-larut membahas berbagai topik, dari hal serius hingga lelucon yang hanya bisa dimengerti oleh kami berlima.
Iseng, aku mengabarkan bahwa Jogja akhir-akhir ini sering diguyur hujan. Bukan hal baru memang, tapi karena aku satu-satunya dari kelompok ini yang masih bertahan di Jogja setelah wisuda, informasi dariku selalu disambut antusias. Tak butuh waktu lama, salah satu teman menimpali, “Jogja ki ngangeni ya nek bar udan ki.” Seolah tanpa pikir panjang, yang lain pun langsung setuju.
Aku tersenyum kecil membaca percakapan itu. Ada sesuatu yang hangat di dalam hati, semacam rasa rindu yang terselip di antara kenangan lama. Ya, Jogja memang romantis setelah hujan. Ada perasaan yang sulit dijelaskan setiap kali aku melihat kota ini selepas diguyur gerimis.
Jogja, Hujan, dan Nostalgia yang Tak Pernah Usai
Pikiranku mulai melayang ke masa-masa dulu. Saat masih kuliah, hujan tak pernah menjadi penghalang bagi kami untuk tetap berkendara keliling kota. Dengan jas hujan yang kadang lebih sering disampirkan di motor daripada dipakai, kami menghabiskan malam dengan mengobrol ngalor-ngidul di jalanan yang mulai sepi. Sesekali berhenti di angkringan langganan, menikmati nasi kucing, sate usus, dan tentu saja segelas kopi jos yang mengepul hangat.
Jogja setelah hujan punya pesona yang berbeda. Jalanan basah memantulkan cahaya lampu jalan, menciptakan kilauan yang samar-samar indah. Bau tanah yang khas setelah hujan bercampur dengan aroma gorengan dari warung pinggir jalan, memberikan nuansa yang sulit ditemui di tempat lain.
Aku juga teringat kebiasaanku setelah kencan dengan perempuan pilihanku saat itu. Setiap kali selesai mengantarnya pulang, aku selalu menyempatkan diri melewati Malioboro. Ada sesuatu yang menenangkan dari melihat trotoar basah yang berkilauan di bawah lampu-lampu jalan. Hiruk-pikuk pedagang kaki lima yang mulai berkemas, alunan musisi jalanan yang masih bertahan di sudut-sudut kota, semuanya berpadu menciptakan suasana yang begitu syahdu.
Jogja, Kota yang Menghargai Waktu dan Kenangan
Seringkali aku bercakap-cakap dengan banyak orang, mulai dari yang baru kukenal hingga kawan lama yang sudah akrab denganku. Hampir semuanya mengamini bahwa Jogja selalu terasa lebih syahdu setelah hujan. Mungkin bukan hanya karena pemandangan jalanan basah yang memantulkan semburan cahaya atau karena hangatnya obrolan di warung kopi, tetapi juga karena Jogja punya cara sendiri untuk mengikat kenangan.
Di tengah modernisasi dan pesatnya perkembangan kota, Jogja tetap mempertahankan budaya dan adat istiadatnya. Keramahan penduduknya, kehangatan suasana malamnya, dan cara kota ini merangkul setiap orang yang datang, membuat siapa pun sulit benar-benar pergi.
Malam ini, entah mengapa obrolan di grup itu kembali mengingatkanku pada alasan mengapa aku masih bertahan di Jogja. Mungkin bukan karena aku belum siap meninggalkan kota ini, tetapi karena Jogja sendiri yang belum benar-benar ingin melepaskanku.
Di setiap rintik hujan yang jatuh, di setiap jejak langkah yang tertinggal di aspal basah, ada cerita yang masih ingin kujaga. Jogja, dengan segala romantismenya, selalu punya cara untuk membuatku tetap tinggal.