Aku nggak tahu ini perasaan doang atau emang Ramadan tahun ini beda. Beda vibes-nya. Beda auranya. Beda rasanya. Kalau Ramadan tahun-tahun sebelumnya kayak masuk ke dalam sinetron religi, Ramadan kali ini lebih kayak masuk ke film dokumenter investigasi.
Aku nggak tahu apa penyebabnya, tapi biar lebih ilmiah, mari kita buat hipotesis.
Hipotesis pertama: Aku sudah tua.
Ini hipotesis yang paling nggak aku suka. Tapi sebagai manusia yang masih punya nalar, aku harus jujur. Dulu waktu kecil, Ramadan itu sakral. Momen yang ditunggu. Sahur jadi acara keluarga, puasa jadi petualangan, buka puasa kayak lebaran kecil tiap hari. Sekarang? Sahur itu urusan alarm dan kebodohan sendiri, puasa jadi ujian mental, dan buka puasa cuma formalitas sebelum lanjut scroll TikTok.
Dulu, Ramadan terasa magis. Sekarang, Ramadan terasa… ya Ramadan aja. Kayak tanggalan yang ganti warna, tapi nggak bawa efek dramatis ke hidup. Kayak kamu yang dulu suka nungguin senja sambil dengerin lagu-lagu FSTVLST, sekarang lebih sering ngitung invoice yang belum cair.
Ya, mungkin aku sudah tua.
Hipotesis kedua: Ramadan semakin komersial.
Kalau dulu Ramadan diisi dengan ceramah yang bikin hati adem, sekarang diisi dengan iklan sirup yang dramanya lebih ngena daripada sinetron jam tayang utama. Dulu, ngabuburit berarti main bola di tanah lapang sambil nunggu azan. Sekarang, ngabuburit berarti keluar rumah buat cari takjil yang harganya naik dua kali lipat.
Ngaji dan tarawih dulu jadi agenda wajib. Sekarang? Tarawih jadi tantangan endurance, dan ngaji kalah saing sama timeline media sosial yang isinya debat soal hukum sahur pakai mie instan.
Ramadan kini lebih banyak gimmick ketimbang hakikat. Semua berlomba bikin Ramadan terasa spesial, tapi justru kehilangan keistimewaannya sendiri.
Hipotesis ketiga: Dunia memang sudah berubah.
Mungkin bukan aku yang berubah, mungkin bukan Ramadan yang berubah, tapi dunia ini yang sudah beda. Semakin cepat, semakin gaduh, semakin absurd. Di medsos, orang lebih semangat debat jumlah rakaat tarawih ketimbang saling mengingatkan untuk menjaga hati.
Di masjid, orang lebih sibuk memastikan konten vlog-nya bagus daripada memastikan shaf-nya rapat. Di jalan, orang lebih khusyuk membunyikan klakson daripada berdzikir.
Ramadan yang dulu menenangkan, sekarang terasa lebih bising. Ramadan yang dulu penuh kebersamaan, sekarang terasa lebih individualis.
Aku duduk di teras, menyeruput teh hangat, lalu merenung.
Mungkin Ramadan nggak pernah berubah, tapi aku dan lingkunganku yang berubah. Dan seperti biasa, aku bingung harus bagaimana.
Tapi kalau Ramadan ini terasa berbeda, mungkin ini saatnya aku mencari cara baru untuk menikmatinya. Bukan dengan nostalgia, bukan dengan mengutuk zaman, tapi dengan mencari makna di dalamnya—meskipun harus melewati lautan iklan sirup dan konten ngabuburit ala selebgram.
Toh, Ramadan tetap Ramadan. Aku yang harus menemukan lagi esensinya.
Atau minimal, aku harus mencari cara supaya Ramadan kali ini lebih bermakna… daripada sekadar menunggu diskon THR di e-commerce.